Tampilkan postingan dengan label Review Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Review Film. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Oktober 2017

Review Film : Pengabdi Setan (2017)


 

Sutradara           :  Joko Anwar                                      
Skenario            :  Joko Anwar, Sisworo Gautama Putra
Pemain              :  Bront Palarae, Tara Basro, Endy Arfian, Nasar Annuz, M. Adhiyat
Genre                :  Horor
Durasi               :  1 Jam 47 Menit
Tahun rilis        :  2017
Rating               :  8


Nama  Joko Anwar lah yang membuatku tertarik menonton film ini. ia adalah seorang sutradara film yang dikenal spesialis thriller dan horor dengan ending yang tak biasa. Beberapa karyanya sering meraih penghargaan di berbagai ajang festival film internasional. Kebetulan juga beberapa filmnya hampir semua sudah aku tonton sebelumnya, dan memang film hasil penyutradaraan dari Joko Anwar ini berbeda dan cukup berkelas.

Film pengabdi Setan adalah film yang di remake dari film yang berjudul sama yang dirilis oleh Rapi Film pada tahun 1980.  Sisworo Gautama Putra yang pada saat itu menjadi sutradara film ini menjadi salah satu penulis cerita dan skenario di remake Pengabdi Setan (2017). Dan terus terang saat tulisan ini kubuat, aku belum pernah menonton film yang versi lawasnya.

Pengabdi Setan berkisah tentang sebuah keluarga yang ditinggal mati oleh ibunya yang mantan seorang penyanyi. Kematian ibunya tersebut didahului dengan keadaan sakit keras yang sudah lama diderita. Karena sudah sampai ajalnya, sang ibu pun tutup usia meninggalkan seorang suami, dan empat orang anaknya.

Sehari setelah ibunya dimakamkan, ayahnya (Bront Palarae) harus pergi ke kota untuk  segera mengurus proses penjualan rumah yang sekarang mereka tempati. Meski dengan berat hati, keempat anaknya itu pun setuju jika ayahnya harus pergi ke kota selama beberapa hari. Keluarga ini hidup di sebuah rumah terpencil di pelosok kampung. Selama ayahnya pergi, sebagai anak sulung Rini lah (Tara Basro) yang menjadi penanggung jawab terhadap ketiga adiknya, Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (M. Adhiyat).

Sehari setelah ayahnya pergi, teror demi teror arwah sang ibu pun mulai menghantui keempat kakak beradik ini. Hari demi hari mereka terus diganggu, bahkan nenek mereka pun ikut tewas akibat teror ini. Rini yang pada mulanya sama sekali tidak percaya dengan hal-hal yang berbau takhayul akhirnya mulai membuka diri dan mencari tau apa sebenarnya yang tengah menganggu mereka.

Alur cerita film ini sangat menarik. Jalan ceritanya juga jelas. Gaya bahasa para tokohnya pun memang menunjukkan skrip film ini tidak digarap secara sembarangan. Dialog dan skenarionya tidak kampungan dan tidak absurd, rasanya seperti mendengarkan dialog-dialog di film berkelas, Dialog-dialognya pun mampu menunjukkan karakter masing-masing tokoh. 

Untuk tata artistik di film ini juga tak kalah hebat. Setting tempat dan waktu memang sengaja disesuaikan dengan tahun 1980 an. Hal itu terlihat dari pakaian dan properti yang digunakan detail sudah dipersiapkan. Joko Anwar di beberapa scene terlihat sengaja memberikan fokus shoot kepada properti jadul seperti baskom jadul, mainan jadul, dan beberapa lainnya, yah itung-itung nostalgia. 

Rumahnya pun ditampilkan dengan rumah sederhana yang masih memakai sumur dengan properti seadanya. Tapi justru rumah inilah yang menjadi salah satu daya pancar kehororan di film ini. Bahkan bisa dibilang rumahnya cukup ikonik.

Melihat film ini aku jadi teringat akan suasana horor di film The Conjuring. Joko Anwar berhasi membuat suasana mencekam sebuah keluarga sama seperti suasana di film The Conjuring.  Suasana horor itu terlihat dari cara ia memberikan pewarnaan pada film ini dan setting tempat yang juga mendukung.

Horor mainstream ala jump scare yang banyak memberikan kejutan dengan sound yang nyaring tidak dilakukan oleh Joko Anwar. Karena ia tau pola macam itu sudah kurang menarik lagi jadi bahan film horor masa kini, apalagi jika dilakukan dengan intensitas yang banyak. Sebagai gantinya Joko Anwar lebih banyak bermain kepada instumen-instrumen lain yang dapat dijadikan sebagai unsur pembangun kesan horor.  Tapi kesan itu nantinya akan jadi suatu hal yang melekat di benak banyak orang. Beberapa instrumen yang dipakai diantaranya adalah bunyi lonceng, lagu si ibu waktu masih jadi artis dulu, yang nadanya saja sudah cukup bikin merinding, lalu kursi roda, rumah kayu yang berderit dan lainnya. Instrumen itupun membuat banyak penonton merasa ngeri.

Asyik bermain di titik itu tidak membuat Joko Anwar lupa dengan penggambaran sosok hantu sang ibu. Meski hantunya tak sering muncul, tapi sosoknya digambarkan secara ngeri dan mudah diingat. Hasilnya luar biasa, hantu dengan senyum seringai sang ibu dan memakai baju putih pun sukses membuat takut para penonton bioskop. Sama nasibnya seperti Valak di film The conjuring 3, hantu sang ibu pun cepat menjadi viral dan dijadikan bahan meme oleh netizen. Meskipun mencekam, sang sutradara tetap memasukkan beberapa unsur humor ke dalam film ini. Tapi dengan porsi yang sewajarnya.

 Akting para pemainnya yah sudah jangan diragukan lagi. Meskipun pemainnya bukanlah orang-orang yang sering wara wiri di layar bioskop. Tapi Joko Anwar mampu membuat artisnya mampu mengeksplore akting dengan baik. Hasilnya terlhat natural, apalagi akting M. Adhiyat yang memerankan si adik bungsu Ian yang bisu terlihat polos dan menggemaskan.

Bukan Joko Anwar namanya jika membuat film dengan alur cerita dan ending yang biasa saja. Setidaknya jalan cerita film ini tak bisa ditebak, dan endingnya pun menghadirkan tanya di benak penonton. Meskipun banyak yang kesal dengan endingnya yang menyiratkan sesuatu, tapi ya begitulah Joko Anwar.

Well overall film ini sangat recommended sekali untuk pecinta film horor. film ini menunjukkan bahwa film horor Indonesia sudah mulai menunjukkan peningkatan dari segi kualitas.

Beberapa bulan terakhir ini film horor Indonesia mulai mendapat tempat di hati penikmat Film Indonesia. Makin kesini horor vulgar mulai ditinggalkan, pola alur film dan tekniknya pun sudah mulai berkembang dan tidak monoton. Terakhir aku menonton film horor Indonesia Danur sudah menunjukkan perkembangan yang positif bagi perfilman tanah air.

Semoga film Indonesia semakin berkembang dan berjaya di negeri sendiri.


Jumat, 31 Maret 2017

Review Film : Danur (2017)




Sutradara          : Awi Suryadi                                        
Skenario            : Risa Saraswati, Lele Laila, Ferry Lesmana
Pemain              : Prilly Latuconsina, Kinaryosih, Shareefa Daanish
Genre                : Horor
Durasi               : 1 Jam 18 menit
Tahun rilis        : 2017



Mungkin bagi yang suka acara-acara horor tanah air sudah tidak asing lagi dengan nama Risa Saraswati. Wanita ini merupakan salah satu pendamping Tukul Arwana dalam acara mistis, Tukul Jalan-Jalan di Trans 7. Risa ini dikenal sebagai Indigo yang mampu melihat mahluk-mahluk dari alam sebelah. Bahkan tidak hanya itu, ia juga memiliki sahabat-sahabat dari mahluk astral.

Selain dikenal sebagai indigowati, (hehe) ia juga dikenal sebagai penulis novel horor. Salah satunya buku yang dibuatkan film adalah film Danur ini. Danur diangkat dari buku Risa yang berjudul Gerbang Dialog Danur. Tentu saja bukunya berdasarkan pengalaman nyata Risa sejak ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahluk tak kasat mata.

Film ini bermula dari Risa kecil yang kesepian berdoa di ulang tahunnya ke 8  agar ia ia punya teman dan tidak kesepian lagi. Sejak ulang tahun itu tiba-tiba ia jadi bisa melihat mahluk gaib. Peter, William dan Jansen adalah mahluk gaib pertama yang bisa dilihat dan diajaknya berkomunikasi. Tidak cuma itu Risa kecil pun bermain dengan ketiga teman barunya itu.

Sampai suatu hari ia bisa melihat wujud asli ketiga temannya yang menyeramkan itu. Risa pun terkejut dan ketakutan. Praktis sejak saat itu hingga mereka pindah Risa tak pernah lagi melihat  ketiga temannya itu.

Beberapa tahun kemudian Risa yang sudah dewasa kembali lagi kerumahnya dulu untuk menjaga dan merawat neneknya yang sedang sakit. Disini ia kembali berurusan dengan hantu. Sebut saja disini Mbak Asih (Shareefa Daanish) yang semula dikira adalah pengasuh dan perawat neneknya, eh ternyata hantu jahat yang mendiami pohon besar dekat rumah mereka. Mbak Asih ini pun menculik adiknya Risa. Maka risa pun berjuang untuk menyelamatkan adiknya ini.

Film horor Indonesia seekarang kalau aku perhatikan pelan-pelan sudah mulai menunjukkan sedikit taringnya. Dulu sempat mainstream film indonesia dengan judul yang aneh-aneh dan dengan pemain yang hanya mengumbar kemontokan tubuh. Sedangkan ceritanya banyak yang tidak bermutu, nuansa horor yang tidak terbangun dan lain sebagainya.

Untuk kemunculan hantunya pun sudah mulai agak sedikit berubah. Dulu sering sekali nongol itu hantu. Sudah begitu sering bikin kaget penonton dengan sound efek yang membahana. Berhamburan adegan murahan si hantu usil yang suka beri kejutan. Tapi sekarang formula itu sudah mulai dikurangi oleh para sineas Indonesia. Salah satunya adalah film Danur ini. Meskipun masih ada tapi sudah mulai dikurangi.

 Sutradara Awi Suryadi berhasil menciptakan atmosfer kengerian dalam film Danur ini. Tidak cuma itu akting dari para pemainnya juga patut diapresiasi dalam membangung nuansa horor. Lihat lah akting Prilly dalam film ini yang sangat bagus ditambah lagi akting Shareefa  yang sangat mengerikan memerankan Mbak Asih. Shareefa memerankan sang hantu dengan sangat meyakinkan.

Meskipun film ini bernuansa horor, tapi kok ada saja adegan-adegan dalam film ini yang malah membuatku tertawa. Bahkan kadang ada beberapa adegan yang malah memancing tawa riuh seisi bioskop.  Namun sayang ada beberapa adegan yang malah kalau dilihat meniru adegan film blockbuster hollywood macam Insidious. Tentu saja ini agak sedikit merusak orisinalitas film.

Namun sayang film ini durasinya terlalu singkat sekitar 78 menit. Kalau saja sebelum ia bertemu dengan Mbak Asih, ia juga bertemu dengan hantu-hantu lain yang juga mengerikan, maka kira-kira perjalanan Risa itu akan lebih mengesankan sebagai orang Indigo yang bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahluk halus. Dan terakhir andai saja instrumen lagu boneka abdi dijadikan theme song dalam film ini, dijadikan musik pembuka, penutu atau apapun itu. Tapi yang pasti lagu ini lebih sering ditonjolkan, maka orang-orang akan terus teringat film ini setiap theme song itu diputar. Dengar saja instrumen film-film  seperti Dead Silence, Saw, The Exorcist, Insidious yang begitu kuat  sebagai theme song  filmnya. Apa mungkin karena instrumen lagu boneka abdi itu sudah hak paten negara lain kali ya.

Tapi biar bagaimanapun film ini cukup lumayan lah. Kualitas film Indonesia sedikit membaik kalau melihat film ini.





---My rate :  6,5/10---

Jumat, 04 November 2016

Review Film : The Doll (2016)





Sutradara         : Rocky Soraya                                               
Skenario          : Rocky Soraya, Riheam Junianti
Pemain             : Shandy Aulia, Denny Sumargo, Sara Wijayanto
Genre                : Horor
Durasi              : 1 Jam 46 menit
Tahun rilis       : 2016

Dilihat dari cover dan judulnya ini film cukup meyakinkan dengan gambar boneka dengan pencahayaan yang gelap. Covernya terlihat seperti film yang  berselera tinggi, ditambah dengan judulnya yang tampak seperti film garapan hollywood. Mungkin filmnya mencekam, dan mengerikan. Setidaknya covernya cukup menjadi pemancing persepsi awal orang untuk menonton film garapan Hits Maker ini.

Awalnya aku agak sedikit skeptis dengan film ini. Tapi untuk mencoba mencintia produk dalam negeri ditambah persepsi akan cover yang ala hollywood itu, kucoba menonton film ini. Apalagi film ini dibintangi oleh Shandy Aulia yang sebelumnya juga pernah bermain di film horor Rumah Kentang. Film rumah kenang cukup lumayan, tapi tidak dengan film ini.

Film The Doll sendiri bercerita tentang  pasangan muda Daniel dan Anya yang baru pindah ke Bandung. Daniel (Denny Sumargo) bekerja di sebuah perusahaan dan menjadi pengawas proyek. Dengan mengesampingkan mitos dan hal-hal yang diluar logika, ia berani menebang pohon yang menurut orang sekitar keramat di sekitar proyek. 

Ketika ia pulang, tiba-tiba boneka yang tadinya tergantung di pohon yang ia tebang ada dalam mobilnya. Tadinya mau dibuang tuh boneka, tapi karena Anya (Shandy Aulia) istrinya adalah seorang pecinta  dan sekaligus pembuat boneka. Boneka dengan wajah angker itu pun disimpan istrinya. Rupanya disinilah awal petaka dan teror terjadi. Sejak kehadiran boneka yang belakangan diketahui bernama gawiah itu hadir dirumah mereka, teror pun mulai berdatangan menghampiri keluarga kecil ini.

   Dalam film beberapa kali ditampilkan penampakan jalan Siliwangi di Bandung. Di dunia nyata jalan ini memang dikatakan menyimpan cerita dan mitos tentang boneka yang berkembang di masyarakat sekitar. Sehingga dasar film ini pun diambil dari mitos di jalan Siliwangi tersebut.

Patut di apresiasi dari film yang digarap oleh Rocky Soraya ini adalah kembalinya film Indonesia yang “murni” horor. Tidak ada embel-embel paha, dada, dan umbar pergaulan bebas yang kemudian mengaburkan esensi film itu sendiri. Tapi meski demikian film ini menurutku masih terdapat banyak kekurangan di beberapa titik.

Hal yang patut disayangkan adalah adegan pembukanya sangat mirip sekali dengan adegan pembuka film The Conjuring. Dari situ aku mikir, “wah, jangan-jangan ini film sampai akhir mirip lagi dengan film hits hollywood itu.” Tapi rupanya itu hanya adegan pembuka saja. Aman.

Rupanya rasa skeptisku akan film ini terbukti, dimulai dari dialog cinta-cintaan Anya dan Daniel yang entah kenapa membuatku geli. Selain itu dialog-dialog dalam film ini kok terasa kaku ya sehingga akting para tokohnya pun ikutan pada kaku. Tak sampai disitu ada beberapa adegan di film ini yang menurutku juga absurd. Sehingga membuatku mengerutkan kening dan kadang membuatku tertawa juga. Terutama dalam urusan mendobrak pintu. 

Jalan ceritanya kurang kuat. Latar belakang Anya yang seorang pembuat boneka tidak begitu ditampilkan. Di salah satu adegan ada bagian yang menampilkan mereka hidup susah dan pas-pasan, tapi dari segi make up, busana dan latar belakang rumah tidak menunjukkan hal itu. Ia sih adegannya lagi naik metro mini, tapi pakaiannya tampak kaya artis lagi blusukan.

Endingnya juga tidak begitu wah, maksud hati ingin membuat twist ending. Tapi aku malah berasa aneh aja gitu ya endingnya. Ada sebab akibat yang janggal yang terjadi di endingnya ini. Cara pengusirannya rohnya pun terlihat biasa saja, tidak sehebat yang dikatakan oleh Bu Laras (Sara Wijayanto) sang paranormal dimana sampai membuat suaminya meninggal. Endingnya banyak mengumbar darah dan luka yang cukup terang. Film yang tadinya tema horor biasa, malah jadi gore horor.  Secara keseluruhan film ini aku rasa masih kurang matang, dan terkesan apa adanya.

Sebenarnya masih banyak lagi hal yang janggal habis menonton film ini. Tapi berhubung tidak tega nulisnya, hehe. Meskipun banyak kekurangan di sana sini. Tapi film ini setidaknya memiliki beberapa nilai plus. Pertama adalah scoring dan sound effect yang cukup lumayan. Cukup meyakinkan dan dapat membangun suasana horor yang mantap di sepanjang film ini. Setting dan pencahayaan pun dibuat remang-remang dan sekali lagi kukatakan cukup meyakinkan. Dan tentu saja tidak ada lagi unsur erotisme dalam film ini. Setidaknya sudah ada sedikit perubahan untuk film horor Indonesia.

---My rate :  5/10---

Rabu, 02 November 2016

Review Film : Seven (1995)




Sutradara          : David Fincher                                    
Skenario            : Andrew Kevin Walker

Pemain               : Morgan Freeman, Brad Pitt, Gwyneth Paltrow

Genre                 : Crime, Mistery

Durasi                : 2 Jam 7 Menit

Tahun rilis         : 1995

Seven adalah film jadul tahun 90an yang baru ku tonton di jaman dimana teknologi sudah canggih seperti sekarang ini. Tapi meskipun tergolong film lama, film ini dari segi jalan cerita tidak kalah dengan film masa kini. Justru bisa dibilang film ini masih top hingga kini.

David Fincher adalah aktor dibalik layar yang sudah mengarahkan film ini. Jujur film David Fincher yang sudah pernah aku tonton sebelumnya hanyalah Fight Club. Film yang berhasil mengecohku sedari awal, dan akhirnya menimbulkan kesan  yang mendalam setelah menonton film Fight Club. 

Berharap mendapat kesan yang mendalam di ingatan. Hal itu pula yang tumbuh di benakku ketika ingin menonton karya David Fincher lainnya seperti film Seven ini. Benar saja, film ini bisa dibilang sedikit beda dengan film-film yang pernah ada. Apalagi latar belakang cerita berhubungan dengan detektif. Tema cerita yang sangat memancing minatku.

Film Seven ini mengisahkan tentang kisah dua orang detektif Somerset (Morgan Freeman), dan Detektif Mills (Brad Pitt) yang sedang menyelidiki kasus pembunuhan berantai. Sang pembunuh ini menggunakan dalil 7 dosa mematikan yang diambil dalam kitab untuk setiap aksi pembunuhannya. 

Somerset adalah seorang detektif Senior yang akan memasuki masa pensiun. Ia terpakasa bekerja sama dengan detektif muda yang baru pindah di kepolisian setempat. Sebelum pensiun, Somerset diberikan kasus terakhir untuk diselidiki yaitu kasus pembunuhan seorang bertubuh gemuk yang tewas saat makan. Pembunuhan tersebut rupanya bukan pembunuhan biasa. Setelah dilakukan beberapa penyelidikan terungkap fakta-fakta dan petunjuk bahwa pembunuhan itu adalah pembunuhan berantai. Berdasarkan insting dan pengetahuan dari Somerset, ia menyimpulkan bahwa sang pembunuh sangat terinspirasi dari 7 dosa mematikan dan akan terjadi setidaknya 6 pembunuhan lagi.

Awalnya pernyataan Someset itu dianggap remeh, dan penyelidikan itu diserahkan kepada Mills. Tapi ketika pembunuhan berikutnya sesuai dengan pola yang dikatakan Somerset, pihak kepolisian pun meminta detektif veteran ini untuk membantu untuk terakhir kalinya.

Digambarkan dalam film ini Mills adalah detektif yang masih hijau dengan segala kesombongan dan sikap temperamental yang melekat pada dirinya. Berbanding terbalik dengan Somerset yang mempunyai pembawaan diri yang tenang dan tidak gegabah. Duet keduanya dalam memecahkan kasus dari awal film sampai film berakhir cukup menarik. Pertentangan ideologi dalam memecahkan kasus keduanya sangat kentara. Kita seperti melihat aksi seorang mentor dan murid. Memang demikian adanya, dari segi pemikiran Somerset lebih berperan dibandingkan Mills, ia pula yang banyak menuntun dan memberikan pentunjuk kepada detektif muda itu.

Kisah pembunuhan berpola dan berantai ini temanya mirip kisah di novel karya Agatha Christie yang berjudul Pembunuhan ABC. Pun hampir sama juga dengan film Angel & Demon yang dibintangi oleh Tom Hanks. Tapi masing-masing judul yang tersebut diatas mempunyai dasar dan pola yang berbeda satu sama lainnya. Begitu pun pemecahannya kasusnya.

Pemecahan kasusnya membuat aku sedikit agak kecewa lantaran sang pelaku yang menyerahkan diri. Endingnya memang membuat shock, tapi aku tidak terlalu terkejut. Hal itu sudah aku ketahui ketika sang pelaku John Doe yang mengatakan bahwa Mills nantinya akan terkejut menyaksikan fakta yang hadir kemudian. Dari pernyataan ini, aku sudah bisa menebak, “ooh pasti ini istrinya”. 

Meski di awal film agak sedikit ngantuk dibuatnya karena alur cerita yang berjalan lambat. Menjelang pertengahan film, inti cerita sudah mulai kelihatan dan membuat penasaran. Menurutku walaupun filmnya tidak se wah Fight Club, tapi film ini cukup okelah untuk menghibur dan membuat penasaran. hehe

 ---My Rating 7/10---

Minggu, 30 Oktober 2016

Review Film : Open Grave (2013)






Sutradara           : Gonzallo Lopez Gallego                                          
Skenario             : Eddie Borey, Chris Borey
Pemain               : Sharlto Copley, Thomas Kretschmann, Josie Ho
Genre                 : Thriller, Misteri
Durasi                : 1 Jam 42 Menit
Tahun rilis         : 2013

Film yang berbau thriller, misteri dan horor merupakan salah satu jenis film favoritku. Salah satunya adalah film ini Open Grave. Film besutan dari sutradara Gonzallo Lopez Gallego ini jika diperhatikan endingnya hampir mirip dengan film Modus Anomali arahan Joko Anwar.  Tapi nanti sajalah berbicara tentang ending.

Adegan pertama film dibuka dengan seorang pria yang diawal film belum diketahui namanya (Sharlto Copley) tersadar dari tidur panjang. Dia terbangun diantara tumpukan mayat di sebuah kuburan besar. Dalam kebingungan itu ada seorang gadis yang menolongnya untuk naik ke atas permukaan keluar dari tumpukan mayat itu.

Atas rasa penasaran, ia pun mengikuti gadis itu. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah rumah ditengah hutan. Didalamnya ternyata sudah ada 5 orang yang juga tengah dalam kebingungan yang sama seperti dirinya. Tak tahu siapa identitas dirinya, tak tau mengapa dan apa yang mereka lakukan ditempat itu. Singkatnya mereka mengalami amnesia alias hilang ingatan.

Rasa penasaran akan latar belakang para tokoh di awal cerita mampu menjadi sebuah pemicu untuk membuat penonton bersabar menunggu hingga akhir film. Film macam ini, kalau di awalnya sudah ada adegan yang bikin kita bertanya-tanya, maka biasanya akan ada twist di akhir cerita. Dan tentu saja jawaban itu kalau kita mau bersabar menunggu film berakhir.

Film ini mampu membuat penonton menunggu twist dari sejak cerita dimulai. Seperti misalnya film Modus Anomali, Hangover, yang dimulai dengan menciptakan rasa penasaran penonton.

Jalan ceritanya lumayan menarik dan simpel tentang usaha dokter yang menolong penduduk yang terkena wabah. Tapi entah kenapa film yang berdurasi sekitar 1 jam 42 menit ini bagiku terasa lama.  Ada beberapa cerita yang menurutku terasa kurang penting sehingga membuat durasi film terasa lama.  Sehingga membuatku sedikit ketiduran di beberapa adegan. Padahal ini film thriller lho.

Di film ini, setelah kita disuguhi awal yang menarik perhatian, perlahan tensi film turun hingga pertengahan cerita. Barulah pada pertengahan cerita, ketika Lukas (Thomas Kretschmann) menemukan rekaman video dimana Jonah (Sharlto Copley) terlihat melakukan percobaan medis terhadap mereka. Konfilik pun terjadi disini. Film pun menjadi lebih tegang kembali setelah dari bagian ini.

Endingnya memang twits, tapi twistnya agak sedikit kurang wah. Sebab di pertengahan film dan beberapa adegan sampai akhir, sang sutradara sudah menyuguhkan potongan-potongan clue melalui ingatan sang tokoh yang membentuk konklusi. Sehingga ada sedikit gambaran lah mengenai endingnya.

Namun yang agak sedikit disayangkan ya kurang digalinya latar belakang beberapa  tokoh seperti si gadis bisu, si anak kecil dan neneknya, para tentara, dan beberapa orang yang amnesia ini. Begitupun juga dengan adegan si gadis bisu memberi makan zombie untuk apa itu, lalu kemudian bagaimana latar belakang pertemuan Jonah dengan orang-orang dirumah ini.

Tapi meski demikian film ini bisa dibilang lumayan lah. Cukup oke dengan menawarkan rasa penasaran di awal film dengan ending yang semi twist. Hehe.

---My Rate :   6.5/10---