Kamis, 29 November 2018

Pontianak Kota Khatulistiwa


Berdasarkan letak geografis, sebenarnya Kota Palangka Raya ibukota Kalimantan Tengah dan Pontianak ibukota Kalimantan Barat terletak di satu pulau, yaitu sama-sama di Kalimantan. Namun karena bentang pulaunya yang sangat luas menyebabkan jarak kedua ibukota provinsi ini mencapai sekitar 1000 Km lebih. Keadaan ini membuat Palangka Raya dan Pontianak seolah dua saudara yang tak saling kenal.
Sebuah perjalanan dinas selama 3 hari pada akhir Oktober 2018 kemarin akhirnya mengantarkanku untuk kali pertama berkunjung ke kota Pontianak, Kalimantan Barat. Provinsi tetangga yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Jika menempuh jalur darat akan memakan waktu yang tidak sedikit, bisa sampai 18 jam lebih perjalanan. Suatu perjalanan yang panjang dan melelahkan pastinya.
Maka dari itu transportasi yang efektif untuk menghubungkan antara Palangka Raya dan Pontianak adalah melalui jalur udara dengan pesawat terbang. Sebelum mendarat di bumi garis khatulistiwa, pesawat terlebih dahulu melintas di atas kota Pontianak tepatnya di sepanjang garis sungai Kapuas hingga Bandara Supadio. Di atas sini kita bisa melihat beberapa pemandangan Kota Pontianak yang terlihat cukup padat dari atas langit.
Setelah beberapa menit bermanuver akhirnya pesawat pun mendarat di Bandara Internasional Supadio. Bandara yang terletak sekitar 17 Km dari kota Pontianak ini secara administratif berada di wilayah Kabupatan hasil pemekaran, Kabupaten Kubu Raya. Kalau dilihat interior bandaranya sudah sangat modern, bersih dan nyaman sama seperti standar bandara modern di Indonesia yang dikelola oleh Angkasa Pura. Di jalur kedatangan pengunjung bisa berfoto dengan miniatur tugu khatulistiwa, ikonnya kota Pontianak di salah satu sudut bandara.
 
Miniatur Tugu Khatulistiwa di Bandara Supadio
Setelah cek in hotel di kawasan jalan Gajah Mada dan dilanjutkan makan siang, kami pun langsung meluncur mencari tempat untuk bersantai menikmati sore. Pilihan pun jatuh di Alun Kapuas Park karena tidak jauh dari tempat kami menginap. Alun Kapuas Park ini adalah sebuah taman yang dibangun ditepi sungai Kapuas. Kalau istilah kerennya sih waterfront city. Melihat lokasi dan pemandangannya hampir mirip seperti waterfront city di Kota Sampit dengan sungai Mentaya-nya atau Dermaga Flamboyan-nya Kota Palangka Raya.  


Alun Kapuas Park Pontianak
Di Alun Kapuas Park adalah tempat yang sangat stabil untuk bersantai sambil memandangi sungai Kapuas, Sungai yang terpanjang di Indonesia. Bagaimana tidak terpanjang, karena aliran sungainya sampai tembus ke Kalimantan Tengah. Itulah kenapa di Kalimantan Tengah ada salah satu kabupaten yang bernama Kabupaten Kuala Kapuas, karena kotanya juga dilalui oleh sungai ini.
 Bersantai sore di Alun Kapuas Park Pontianak

 Waterfront City
 Saat kami berkunjung ke Alun Kapuas Park, hampir tak ditemukan pedagang kaki lima. Sebagai gantinya yang ada adalah pedagang kaki lima terapung, hehe. Tak jauh beda dengan pedagang pasar terapung di Banjarmasin, hanya saja disini menggunakan kapal yang lebih besar dengan menawarkan beraneka jajanan dan minuman.

 PKL Terapung
Selain itu ada juga kapal yang menyerupai kafe terapung. Kapal ini juga merangkap sebagai kapal wisata susur sungai. Kami pun mencoba menjajal kapal susur sungai ini. Rutenya memang tak jauh hanya seputaran kota Pontianak saja. Setiap penumpang hanya dipungut biaya 5 ribu rupiah saja. Tapi kita sudah dapat menikmati beberapa keindahan dan kearifan lokal tepian sungai Kapuas di Pontianak. Kuperhatikan hampir seluruh tepian sungai Kapuas ini sudah dibuatkan siring, sehingga kondisinya tak memungkinkan lagi adanya rumah terapung tradisional (lanting) yang banyak mengapung di tepi sungai seperti di Palangka Raya.

 Cafe terapung dan susur sungai
Melihat pemandangan di kiri dan kanan selama susur sungai, aku jadi teringat dengan pemandangan susur sungai di Banjarmasin yang suasananya hampir mirip. Dalam rute tersebut kami pun ada melewati sebuah masjid berbahan dasar kayu dengan warna cat dominan kuning. Arsitekturnya unik dan klasik dengan puncak atapnya terlihat menyerupai lonceng. Ketika aku searching di google, ternyata itu adalah masjid Jami’ Pontianak atau Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Masjid tertua dan bersejarah di Kota Pontianak. Katanya masjid ini merupakan salah satu bangunan yang menjadi penanda berdirinya kota Pontianak pada tahun 1771. Pas kami melintas, saat itu kebetulan sedang masuk waktu shalat magrib. Tampaknya banyak juga orang-orang yang shalat di masjid tersebut. Langsung aja muncul keinginan untuk shalat di masjid tersebut sebelum pulang ke kota asal, sekaligus berfoto dengan masjid yang berusia ratusan tahun tersebut. Namun apa daya, karena waktu tak sempat, niat tersebut pun akhirnya tak kesampaian.
Masjid Jami’ Pontianak
Hari kedua kami pun mulai berurusan ke salah satu kantor pemerintahan Provinsi Kalbar. Hampir sebagian besar kantor-kantor pemerintahannya masih menggunakan struktur bangunan lama. Hal tersebut terlihat dari model bangunan, dan interiornya yang tampak tak tersentuh renovasi. Kalau boleh dibandingkan masih lebih bagus kantor komplek kantor Gubernur Kalteng dibandingkan Kantor gubernur Kalbar. Dan kalau boleh dibandingkan juga, bangunan milik swasta di Kota ini lebih mentereng dibandingkan bangungan milik Pemerintah.
Setelah urusan dinas beres, siangnya  kami pun kembali pulang ke hotel untuk makan siang dan istirahat. Karena besoknya sudah pulang ke kota asal, maka sore itu kami memutuskan untuk pergi ke tempat pusat penjualan oleh-oleh. Sebagai bekal untuk dibawa pulang. Sebelum mendarat di Kota Pontianak aku sudah mengincar dan punya bayangan akan membawa pulang apa nantinya.
Berdasarkan hasil tanya sini dan tanya situ, maka kami di rekomendasikan belanja di Komplek PSP, pusat oleh-oleh khas Pontianak yang terletak di Jalan Pattimura. Disini berjejer kios-kios yang menjual berbagai macam souvenir mulai dari baju adat, aksesoris, hiasan, miniatur dan lainnya. Pokoknya khas dan unik. Tak Cuma itu disitu juga dijual beraneka makanan dan cemilan khas Pontianak seperti dodol, manisan dan lainnya.
 Disana aku lebih tertarik untuk membeli miniatur Tugu Khatulistiwa. Ternyata miniatur dengan ukuran sedang yang kubeli cukup terjangkau dengan harga 50 ribu. Apalagi desainnya unik dan mewah berada di dalam kaca. Disana ada pula miniatur yang dijual lebih kecil sekitar 25 ribu. Kalau  miniatur yang lebih besar yang ada lampunya dengan kisaran harga 100 ribu ke atas. Selain miniatur aku juga membeli hiasan dinding berbingkai dengan aneka pilihan gambar yang katanya canvasnya terbuat dari kulit kambing. Selebihnya aku juga membeli oleh-oleh berupa camilan yang ternyata juga murah meriah dengan harga mulai dari 10 ribu. Benar-benar pusat oleh-oleh dengan harga yang cukup terjangkau. Setelah puas berbelanja kamipun balik kanan lagi ke penginapan.

 
 Pusat Oleh-Oleh Kawasan PSP
Tempat kami menginap berada di Jalan Gajah Mada, yang mana sepenglihatanku di jalan ini tampak seperti kawasan perhotelan. Di sepanjang jalan ini dan sekitarnya banyak berjejer hotel- hotel mulai dari yang mewah sampai yang hotel biasa saja. Itulah mungkin yang menyebabkan harga makanan di kawasan ini cukup tinggi kalau menurutku. Setidaknya untuk satu porsi makanan ala warteg ya minimal 25 ribu.
Pernah waktu aku sarapan pagi di kawasan jalan Hijaz, masih satu kawasan juga dengan Jalan Gajah Mada. Aku mencoba memesan makanan nasi kuning. Rupanya nasi kuning di Pontianak berbeda dengan di Kalteng dan Kalsel. Jika ditempat asalku nasi kuningnya beraneka pilihan lauk dengan dilumuri bumbu masak merah . Nah kalau di kota khatulistiwa ini nasi kuningnya tidak pakai bumbu masak merah, dan hanya ayam goreng saja lauknya dengan ditambah sedikit sayuran. Persis nasi uduk, hanya yang ini warnanya kuning. hehe. Harganya ya itu tadi agak lumayan lah. Tapi kalau dipikir lagi ya wajar saja kalau harganya segitu, karena letak warungnya berada di kawasan perhotelan. Pembelinya pun rata-rata para penghuni hotel di sekitar situ.
  
 Nasi Kuning Khas Pontianak


Salah Satu Potret Jalan Hijaz Kota Pontianak
Tak banyak ruas kota Pontianak yang ku lewati selama di kota itu. Paling hanya daerah-daerah inti dan kawasan jalan protokol saja yang dilalui saat menuju ke tempat tujuan. Dapat dikatakan Pontianak ini adalah salah satu kota besar, dengan jumlah penduduk yang di kisaran 665 ribuan jiwa. Jauh beda dengan jumlah warga Kota Palangka Raya yang berkisar di angka 250 ribuan jiwa.
Hal tersebut wajar memang mengingat Pontianak termasuk salah satu kota tua di Indonesia dengan usia pada tahun 2018 menginjak 247 tahun. Selain itu Pontianak juga merupakan kota pelabuhan dan sekaligus kota bisnis. Jadi wajar saja jumlah penduduk dan kemajuan kotanya cukup berkembang.
Kalau diperhatikan suasana jalanan  dan kehidupan warga Kota Pontianak ini agak mirip dengan Kota Banjarmasin. Sibuk dan ramai dengan aktivitas ekonomi, di kiri dan kanan jalan banyak berdiri bangunan bertingkat. Di kota ini ada beberapa titik jalan yang kerap dilanda kemacetan.
 Jalanan tak pernah lengang selalu dipenuhi oleh bermacam kendaraan. Keadaan tersebut juga didukung oleh kondisi jalan dalam Kota Pontianak yang cukup bagus dan mulus. Bahkan ada salah satu kawasan yang kulihat mirip sekali dengan kawasan Jalan A. Yani di Banjarmasin. Malah di beberapa kawasan kota Pontianak yang lain, aku melihat sudut kotanya mirip pula dengan salah satu sudut kota di Jakarta.
   
 Salah Satu Gedung di Kota Pontianak

  
  Kawasan Perhotelan di Jalan Gajah Mada
   
 Salah Satu ruas Jalan di Pontianak
Meski tak semua, banyak toko-toko milik pengusaha etnis Tionghoa yang menuliskan plang tokonya dengan huruf mandarin. Disini wajah-wajah oriental tak sulit ditemukan. Pernah salah satu teman iseng menanyakan kawasan yang banyak kumpulan “amoi-nya” kepada rekan yang asli Pontianak. Dikatakannya bahwa orang-orang yang berwajah Tionghoa lebih banyak di Kota Singkawang.
Oh iya orang-orang Pontianak mayoritas menggunakan bahasa melayu untuk percakapan sehari-hari. Setidaknya itu yang sering aku dengar. Ya agak mirip sedikit lah dengan bahasa dan logatnya Upin Ipin. Hehe.
Tampaknya beberapa warga awam Pontianak banyak yang tidak tau Palangka Raya itu dimana khususnya para supir dan pedagang. Ketika disebutkan ibukota dari Kalimantan Tengah barulah mereka ngeh. Bagi mereka tampaknya Palangka Raya semacam kota yang nun jauh disana padahal cuma tetanggaan. Hehe. Lain halnya dengan Pontianak yang sudah cukup dikenal oleh warga Palangka Raya yang awam sekalipun yaitu sebagai daerah penghasil buah langsat dan jeruk dengan rasa khas.
Untuk angkutan umum di Kota Pontianak memang untuk taksi, angkot dan lainnnya agak jarang terlihat. Dengan kata lain agak susah juga mencari transportasi di Kota ini. Tapi mengingat sudah hadirnya ojek online di kota ini seperti Grab dan Gojek  membuat urusan transportasi tak lagi hal yang perlu dirisaukan. Cuma masalahnya ya itu harus punya smartphone jika ingin memesan angkutan online ini.


Jembatan di Pontianak


 Meskipun berstatus sebagai kota pelabuhan, tapi wilayah geografis kota Pontianak tidak berbatasan langsung dengan garis pantai. Jadi kalau mencari wisata alam semacam pantai ya mesti ke Singkawang dulu dengan perjalanan sekitar 2 jam dari kota Pontianak. Sama seperti Palangka Raya dan Banjarmasin, kota yang tak memiliki pantai.
Tapi meskipun tak memiliki wisata alam di dalam kotanya, Pontianak masih memiliki banyak tempat wisata bersejarah dan  terkenal hingga ke mancanegara. Selain masjid dan keraton yang berusia ratusan tahun, Pontianak juga memiliki tempat wisata unggulan yaitu Tugu Khatulistiwa. Tugu inilah yang menjadi ikon kota Pontianak. Tugu Khatulistiwa ini pulalah yang menjadi “jualan” utama pariwisata Kalbar baik nasional maupun internasional.
 
 Tugu Khatulistiwa

Tugu Khatulistiwa terletak sekitar 10 Km dari pusat kota Pontianak. Tugu yang dibangun pada tahun 1928 tersebut adalah titik nol bumi yang peris dilalui oleh garis ekuator. Di titik inilah ada garis khatulistiwa yang memisahkan antara belahan bumi utara dan belahan bumi selatan.  Di titik ini pula setiap tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa yang menyebabkan bayangan benda tak terlihat selama beberapa detik. Fenomena yang dinamakan Kulminasi Matahari.
Memang di dunia ini ada 12 negara yang dilintasi oleh garis khatulistiwa. Di Indonesia pun ada beberapa titik wilayah yang dilintasi oleh garis ini. Bedanya titik tersebut tak tepat berada di pusat kota. Nah kalau di Pontianak, garis khatulistiwa tepat membelah di kota ini sehingga dekat kalau dikunjungi. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan perayaan yang selalu dilakukan setiap kulminasi matahari. Itulah yang membuat Kota Pontianak ini istimewa. Itu pula sebabnya banyak wisatawan mancanegara yang datang berkunjung saat titik kulminasi matahari.
Sebenarnya titik khatulistiwa yang ada tugunya bukanlah titik khatulistiwa yang tepat. Pada tahun 2005 dilakukan koreksi oleh tim ahli. Hasilnya, titik nol garis khatulistiwa yang sebenarnya berada 117 meter ke arah sungai Kapuas dari tugu Khatulistiwa. Tak jauh dari titik semula. Akhirnya dibangun lagi patok dari pipa untuk menandakan titik Khatulistiwa yang baru.
 

 Patok garis khatulistiwa setelah dilakukan koreksi
Tugu Khatulistiwa yang terlihat menjulang tinggi di atas kubah museum Khatulistiwa itu pun bukan tugu aslinya. Itu hanya replikanya saja. Tugu asli yang dibangun pada tahun 1928 itu dapat dilihat di dalam museum, berdiri tegak di dalam museum.

 Tugu Khatulistiwa yang asli sejak 1928 berada di dalam museum tugu.
   
 Interior museum tugu khatulistiwa.
             Saat itu adalah hari terakhir kami di Pontianak, kebetulan pesawat baru akan akan berangkat pada siang hari. Pagi itu rekan-rekanku tak ada yang mau diajak jalan-jalan lagi. Padahal aku belum berkunjung ke Tugu Khatulistiwa. Rasanya ada yang kurang kalau berkunjung ke suatu kota tapi tak mampir ke landmarknya. Kata orang sih kalau berkunjung ke Pontianak belum sah kalau belum wisata ke Tugu Khatulistiwa. Akhirnya karena tak ada yang mau ikut dengan nekat akupun pergi sendirian ke tugu Khatulistiwa.
 Berhubung saat itu adalah hari kerja alias bukan hari libur, jadi tempat wisata tersebut terlihat sepi saat aku kunjungi. Di dalam museum selain dapat melihat tugu yang asli, kita juga dapat melihat foto-foto jadul dan sejarah tugu khatulistiwa. Berwisata ke lokasi bersejarah dan fenomenal seperti tugu khatulistiwa ini sungguh menarik. Banyak informasi dan pengetahuan yang kudapatkan ketika berkunjung kesini. Gembira dan senang sekali rasanya bisa kesampaian ke tugu ini.
Hanya sedikit saran untuk pemerintah setempat agar lebih memperhatikan kawasan wisata ini. Pemerintah harus lebih mengoptimalkan kondisi lingkungan dan fasilitas di objek wisata Tugu Khatulistiwa.
Sepulang dari Tugu Khatulistiwa, karena di sana tak ada Ojek Online yang beroperasi aku pun menumpang oplet sampai ke dermaga Ferry penyebrangan. Dermaga penyeberangan Ferry ini terletak kurang lebih 4 Km dari Tugu Khatulistiwa. Dermaga Ini adalah jalur terdekat untuk sampai ke pusat kota Pontianak. Jika melalui jembatan agak jauh karena harus memutar. Sedangkan melalui penyeberangan ini agak sedikit menghemat waktu karena langsung menyeberang ke Alun Kapuas Park. Persis seperti Ferry penyeberangan di Kabupaten Kapuas yang banyak digunakan oleh masyarakat ketimbang harus memutar jauh melalui jembatan.
  
 Ferry penyeberangan orang dan kendaraan

Pukul 11.30 sesampai di hotel aku  dan rekan-rekan pun langsung cek out dan bersiap untuk berangkat ke Bandara Supadio. Untung saja aku sempat berkunjung ke Tugu Khatulistiwa ikon utama Pontianak dan Kalbar. Karena aku tidak tau kapan lagi aku bisa kembali ke kota ini. Mengingat sulitnya transportasi yang efektif dan murah untuk sampai ke Provinsi ini jadi ya kalau tidak ada urusan tak mungkin dalam waktu dekat akan kembali lagi.
Saat ini di kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah Kementerian PUPR sedang mengerjakan sebuah proyek jembatan yang nantinya akan menjadi jalur alternatif penghubung Kalteng dan Kalbar. Yah semoga saja ketika jalur ini sudah terbuka dan mulus, setidaknya dapat memperpendek jarak antara Palangka Raya dan Pontianak dengan lama perjalanan tak sampai 12 jam. Sehingga harapannya di masa depan warga Palangka Raya dan Pontianak sudah biasa saling berkunjung.