Tampilkan postingan dengan label Jalan - Jalan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jalan - Jalan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 Mei 2023

Muara Teweh Kota Barito

Sebenarnya ini adalah tulisan lama yang belum sempat aku posting. Tulisan ini adalah catatan pengalamanku tentang Kota Muara Teweh pada tahun 2019 yang lalu. Mungkin saat ini sudah terjadi perubahan yang signifikan di Kota itu. Apalagi sejak itu hingga kini aku belum memiliki kesempatan lagi berkunjung ke Muara Teweh. Mungkin saja penampilan foto ibukota Barito Utara yang ku posting disini sekarang sudah tidak relevan lagi karena banyak perubahan.

Muara Teweh adalah salah satu ibukota Kabupaten di Kalimantan Tengah yang sangat ingin ku kunjungi. Apalagi Muara Teweh merupakan Ibukota Barito Utara salah satu Kabupaten yang tertua di Kalimantan Tengah selain Kapuas, Barsel, Kotawaringin Barat, dan Kotawaringin Timur. Kabupaten tertua lainnya sudah pernah aku kunjungi, nah hanya Muara Teweh ini saja yang belum. Alhamdulillah pada bulan Februari 2019 yang lalu aku berkesempatan berkunjung ke kota ini dalam rangka urusan dinas bersama seorang rekan kerja.

Kami berangkat melalui jalan darat dengan jarak tempuh dari Kota Palangka Raya sekitar 313 Km. Jarak yang lumayan jauh dengan waktu tempuh sekitar hampir 7 jam perjalanan jika tanpa kendala dan perhentian. Waktu itu kami berangkat pukul 09.00 dan tiba pada pukul 18.00. Hal itu lantaran selama perjalanan banyak kendala teknis dan perhentian yang membuat perjalanan kami menjadi lebih lama. Maklum karena keberangkatan kami menggunakan jasa transportasi travel dengan mobil mini bus berkapasitas 7 penumpang. Tarif travel dari Palangka Raya ke Muara Teweh dan sebaliknya sekitar 200-250 ribu per orang.

Kalau perjalanan dari Palangka Raya hingga Kecamatan Ampah (Wilayah Kabupaten Barito Timur) kondisi geografis jalannya cenderung datar dan tidak terlalu banyak “tantangan”. Barulah setelah meninggalkan daerah Ampah dan mulai masuk menuju ke wilayah Kabupaten Barito Utara struktur dan medan jalan perlahan mulai berubah dari awalnya landai dan datar menjadi jalan yang berbukit-bukit.

Kondisi wilayah Barito Utara yang sebagian besar berada di perbukitan membuat jalan yang menuju ke Muara Teweh jadi agak ekstrem kalau menurutku. Hal ini terlihat dari banyaknya jalan naik dan turun juga berkelok di sepanjang jalan wilayah ini. Medan yang hampir mirip bila kita berangkat dari Palangka Raya menuju Kuala Kurun Kabupaten Gunung Mas. Hanya saja menurutku kondisi jalan ke Muara Teweh lebih  menguji nyali. Ini adalah jalan lintasan yang ekstrem yang pernah aku temui. Bahkan ketika pulang menuju Palangka Raya dengan supir yang sama kepalaku agak sedikit puyeng alias gejala mabuk darat. Namun untungnya kondisi dalam tubuhku cepat kembali normal dan pusing itu pun mulai tak ada lagi. Seumur hidup baru kali ini aku merasakan pusing ketika bepergian ketika naik mobil meskipun hanya selintas saja pusingnya. Namun itu sudah cukup menggambarkan betapa menantangnya jalan lintas ke Barito Utara ini.

Bayangkan saja lintasan jalannya pada umumnya membelah perbukitan, ketika jalan turunan langsung bertemu tikungan tajam, ada pula jalan tanjakan yang juga langsung tikungan tajam, kondisi tersebut ditambah lagi dengan badan jalan yang relatif masih sempit dan berselisihan dengan banyak kendaraan besar semacam truk dan tronton. Belum lagi kalau ditambah kondisi jalan yang hujan. Kalau tak punya keahlian berkendaraan yang mumpuni ditambah dengan kendaraan yang tak kuat melawan medan mungkin akan oleng. Apalagi banyak jurang disepanjang kiri dan kanan. Suatu medan perjalanan yang sungguh menguji adrenalin. Untungnya supir yang kami tumpangi kendaraannya ini termasuk dalam golongan orang yang pro melalui medan seperti ini. Karena si supir sendiri merupakan orang lokal yang sudah sering malang melintang melalui jalur tersebut untuk mengantar penumpang.

Lintas Palangka Raya Muara Teweh pada umumnya lingkungan di sepanjang jalan biasa saja, tahu sendiri lah kondisi geografis Kalimantan Tengah yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang sedikit membuat pemandangan kiri dan jalan jalan di dominasi oleh hutan-hutan dan beberapa kampung. Namun demi mengenal medan dan melihat secara langsung kondisi lapangan aku enggan untuk tidur lagi ketika perjalanan sudah memasuki wilayah Barito Utara. Setidaknya lintas Ampah-Muara Teweh kami beberapa kali melewati ibukota kecamatan yang mana memiliki kepadatan dan keramaian yang lumayan tinggi, seperti di desa Patas, Kandui, Tapen dan Hajak.


Ketika memasuki wilayah kota Muara Teweh atau tepatnya wilayah yang menjadi kawasan selamat datang dibuat semacam taman dan ornament yang menarik di median jalan. Pada saat kami sampai disana hari sudah senja, jadi kondisi agak gelap. Nah  meskipun gelap ornamen di median jalan yang dimaksud tadi terlihat indah dengan lampu yang membuatnya tampak artistik.

Memasuki wilayah dalam kota nya pun Muara Teweh pun terlihat sangat indah dengan banyaknya lampu-lampu hias yang dipasang di beberapa titik sehingga membuat ibukota Barito Utara itu terlihat ramai dan semarak. Lampu-lampu itu ada yang dipasang di papan nama jembatan, di jembatan penyebarangan, di bundaran dan di pinggir jalan utama. Apalagi di kawasan kuliner dekat bundaran buah disini lampu banyak menghiasi di beberapa titik.

Kamipun memilih menginap di sebuah hotel di yang didepannya adalah sungai Barito Water Front City. Kawasan tempat kami menginap adalah kawasan yang padat dan ramai. Disitu juga ada pasar, pelabuhan dan aktivitas ekonomi lainnya.  Suasana yang lazimnya terjadi pada kota yang dilalui oleh Sungai. Sehingga tidak sulit bagi kami untuk mencari makan dan keperluan lainnya.

Water front city adalah salah satu tempat wisata yang ada di Muara Teweh. Hanya saja tempatnya masih terlihat sepi dari aktivitas berkumpul masyarakat. Terlihat hanya warga sekitar dan pedagang saja yang memanfaatkan Waterfront city ini untuk bersantai. Jarang ada masyarakat yang datang dari jauh dengan menggunakan motor untuk bersantai. Memang kalau dilihat posisi Waterfront City ini tepat bersebarangan dengan pasar dan aktivitas perdagangan lainnya.

Selain waterfront City, masih di satu tempat juga tengah dibangun proyek jembatan yang dinamakan jembatan Hasan Basri 2. Jembatan ini masih on progress belum tersambung tengahnya. Jembatan Hasan Basri 2 rencananya dibangun untuk menghubungkan kota dengan wilayah seberang. Pemkab Barito Utara tampaknya ingin memekarkan wilayahnya ke kawasan seberang. Bahkan di seberang sudah dibangun Masjid Agung. Mungkin karena adanya proyek ini makanya waterfront city jadi terlihat sepi.

Ada pemandangan yang menarik ketika kita bersantai di Waterfront City, yaitu kita bisa melihat rumah lanting berwarna-warni yang mengapung di atas sungai Barito. Sebuah kebijakan yang menurutku sangat tepat untuk membuat tampilan dan wajah Waterfront City jadi lebih elok lagi.

Daerah pinggiran sungai termasuk wilayah yang ramai dengan berbagai macam aktivitas. Pelabuhan sungai disini peran dan fungsinya masih sangat vital hal itu terlihat dari masih banyaknya warga yang menggunakan jasa transportasi angkutan sungai berupa kelotok atau speedboat untuk bepergian. Umumnya tujuan angkutan sungai ini adalah ke wilayah desa yang dilalui oleh Sungai Barito hingga sampai ke Wilayah Puruk Cahu Kabupaten Murung Raya.

Besok harinya setelah kami selesai berurusan di salah satu instansi Pemerintah Kabupaten Barito Utara, kamipun pulang ke hotel. Nah setelah  mengganti pakaian Dinas, kami pun berencana untuk mencari makan dan sekaligus berkeliling kota Muara Teweh. Jika pada saat berurusan tadi kami menyewa  sepeda motor milik tukang ojek di sekitar pelabuhan dengan Tarif Rp.25.000 per jam. Nah kali ini kami ingin menjajal keliling kota dengan berjalan kaki. Bayangkan saja berjalan kaki di siang bolong. Berbekal google map kami pun mulai bertualang.

Menurut pengamatanku Muara Teweh termasuk ke dalam golongan kota dengan tingkat kepadatan dan keramaian yang relatif sedang. Untuk tata kota ia bisa disejajarkan dengan kota-kota “senior” yang ada di Kalimantan Tengah seperti Kapuas, Sampit, dan Pangkalan Bun. Padahal menurut data BPS per Mei 2018 jumlah penduduk Kabupaten Barito Utara adalah sekitar 129.287 jiwa. Jumlah yang masih sedikit relatif.

Tapi meskipun jumlah penduduk masih agak jarang, namun untuk urusan tata kota bisa dibilang Muara Teweh masih tergolong rapi. Pemerintah Daerah setempat pandai memoles wajah kota sedemkian rupa sehingga menarik dipandang.

Topografi dalam kota Muara Teweh cenderung berbukit sehingga membuat jalan-jalan dibuat menanjak dan menurun seperti jalanan yang ada di Kota Kuala Kurun. Dan bahkan dibeberapa sudut jalan dan kotanya yang naik dan turun ada bagian yang mirip dengan salah satu titik di kota Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat.

Pemkab Barito Utara pandai sekali dalam menata wajah kota dan jalannya. Hampir disetiap median jalan utama rumputnya dipangkas rapi dan dibentuk susunan yang artistik. Tak cuma median, trotoar dan tempat pejalan kaki di samping jalan pun juga bersih dengan diberi cat yang tampaknya dilakukan secara berkala oleh pemerintah setempat. Kondisi jalan dalam kota muara teweh hampir semuanya dalam keadaan mulus dan bersih. Apalagi kalau malam hari jalanan terlihat bagus dengan banyaknya lampu jalan yang berpendar berwarna warni. Pokoknya kota ini kalau urusan jalan terlihat rapi dan bagus. Meskipun proyeksi untuk pelebaran jalan seperti di Palangka Raya sudah tak dapat dilakukan lagi, tapi untuk urusan tata kota Muara Teweh adalah kota terbaik Kalteng di DAS Barito.


Di Muara Teweh ada sebuah Monumen pahlawan besar asal Barito Utara, yakni Panglima Batur. Monumen ini diresmikan pada tahun 2010 oleh Kepala Staff TNI-AD, Jendral George Toisutta. Panglima Batur adalah pahlawan asal Barito Utara yang sudah berjuang melawan penjajah Belanda pada tahun 1905 di bumi yang berjuluk Iya Mulik Bengkang Turan ini. Patung Panglima Batur tampak gagah dengan pose berdiri sambil menghunuskan Mandau. Di belakang monumen ini ada air mancur yang tampak seperti sebuah bukit besar yang artistik. Apabila malam hari monumen dan air mancur ini terlihat indah dengan dilengkapi lampu berwarna warni. Kebetulan letak monument ini berada dekat dengan bundaran air mancur yang juga dilengkapi lampu penuh warna.

Tidak jauh dari monumen dan bundaran air mancur tersebut, masih di satu kawasan berdiri dengan megah rumah jabatan Bupati Barito Utara. Rujab ini mengadopsi gaya eropa dengan pilar-pilar besar nan megah sebagai penyangga. Rujab ini lebih terlihat seperti istana. Bahkan kalau boleh dibandingkan, rumah jabatan Gubernur Kalteng saja kalah megah dengan rujab Bupati Barito Utara ini.

Di Muara Teweh ada bundaran yang cukup ikonik dan dapat menjadi landmark Kota Muara Teweh, yaitu Bundaran Buah. Bundaran ini tidak begitu jauh sekitar 500 meter dari rumah jabatan bupati. Letak bundaran ini dekat dengan taman, pujasera dan Stadion. Rasanya inilah bundaran yang paling memiliki ciri khas di kota ini. Sehingga rasanya kurang lengkap jika berkunjung ke Muara Teweh jika tidak berfoto berlatar belakang bundaran ini.

Kamipun makan di pusat kuliner yang letaknya hanya beberapa meter dari Bundaran Buah itu, dan jaraknya pun juga tepat diseberang Stadion. Untuk harga makanan sih kurang lebih sama dengan harga makanan di Palangka Raya. Itu untuk harga di pusat kuliner kayak semacam café gitu. Lokasi yang harganya berkisar 20 ribuan ke atas per porsinya. Kalau di warung biasa di daerah pasar relatif murah dengan harga dibawah 20 ribu.

Selesai makan kamipun jalan-jalan melihat stadion yang pada saat itu hari sudah mulai sore. Suasana stadion ramai dengan orang yang lari sore di jogging track. Selain itu ada pula tim sepak bola yang tengah berlatih. Hal yang menarik perhatianku selain taman di sekitar stadion adalah kualitas rumput stadion yang tampaknya tebal dan rapi, seperti rumput di stadion internasional. Info yang kudapat memang rumput yang dipakai oleh Stadion yang bernama Swakarya ini adalah rumput Zoysia Matrella, rumput standar internasional. Kualitas rumput stadion yang sangat berkelas sekali untuk tingkat Kabupaten meskipun tribunnya hanya 1 saja. Bahkan saat itu bulan februari 2019 Stadion Tuah Pahoe markas tim sepak bola Liga 1 Kalteng Putra,  di Palangka Raya belum memiliki rumput seperti itu. Selain taman yang ditata dengan indah dan rapi, di sekitar stadion juga ada lapangan basket, rumah betang dan kantor Satpol PP dan Damkar Kabupaten Barito Utara.

Aktifitas masyarakat Muara Teweh utamanya anak mudah lumayan tinggi kala sore hari. Ada yang berolahraga, bersantai, jalan-jalan dan berbagai macam aktifitas lainnya. Namun hanya sayang sekali Muara Teweh masih belum memiliki Mall. Minimal dibangun mall ukuran sedang seperti Citimall yang sudah hadir di Sampit, Pangkalan Bun dan Kapuas. Muara Teweh punya potensi jika dibangun Mall apalagi jika tenan didalamnya ada brand Hypermart, Matahari dan Cinemaxx. Pandangan ini setidaknya dari pengamatanku di Muara Teweh melihat  pusat keramaian yang selalu dipenuhi oleh masyarakat.

Pada sore hari kami pun pulang kembali ke Hotel juga dengan berjalan kaki. Lumayan juga capeknya saat kami berjalan kaki menuju ke pusat kota dan kembali juga dengan berjalan kaki. Ditambah cuaca yang sangat terik membuat bulu kuduk berdiri. Setelah istirahat melepas lelah, malam harinya kami pergi ke pasar blauran yang letaknya hanya bersebelahan dengan tempat kami menginap. Entah ada pasar blauran yang lain atau tidak selain disini, karena menurutku pasar blaurannya terlalu pendek dan pedagang yang berjualan relatif sedikit. Malam hari santai sambil duduk di Water front City juga dapat menjadi pilihan yang tepat untuk melepas penat di Muara Teweh.

Ada satu tempat wisata yang tak sempat kami kunjungi di Muara Teweh, padahal jaraknya dari pusat kota hanya sekitar 18 KM. tempat wisata itu adalah air terjun. Air Terjun Jantur Doyan namanya. Namun sayang, kami baru mengetahui di hari kedua pas sudah malam hari. Sedangkan hari ketiga pada pagi harinya kami sudah pulang kembali ke Palangka Raya. Supir travel yang akan menjemput kami sempat menawarkan diri untuk mengantar kami ke objek wisata dimaksud. Namun takut malah kelamaan, akhirnya niat itu kami urungkan. Kapan-kapan sajalah kami pikir.

Pagi itu sebelum pulang, kami mampir di sebuah toko oleh-oleh yang masih satu kawasan dengan tempat kami menginap. Disitu banyak dijual makanan dan oleh-oleh khas Muara Teweh. Salah satunya yang sangat terkenal dari barito adalah lampok durian. Cemilan yang menyerupai dodol tapi mempunyai cita rasa durian yang sangat kuat. Harganya pun relatif tinggi untuk ukuran setengah kg sekitar Rp. 50.000. Namun cemilan ini memang pantas mahal, karena rasa duriannya sangat kuat, dan kata sang penjual lampok ini dibuat dengan komposisi durian yang hampir 75%. Rasanya memang enak, seperti dodol tapi lebih nikmat lagi karena rasa durian.

Tak lama kemudian mobil jemputan pun datang, kami bergegas cek out dari hotel untuk kemudian melakukan perjalanan menuju Palangka Raya. Entah kapan aku bisa kembali lagi ke Muara Teweh. Harapannya sih ketika aku kembali lagi ke kota ini, beberapa proyek yang tengah berjalan waktu itu sudah selesai. Apalagi saat tulisan ini kubuat, Kalimantan Timur telah dipilih oleh presiden sebagai lokasi ibukota baru Indonesia. Letak geografis Barito Utara yang berbatasan langsung dengan Kaltim tentu membawa keuntungan sendiri bagi Muara Teweh. Bukan tidak mungkin kelak Muara Teweh akan menjelma menjadi salah satu kota besar di wilayah Barito.

Senin, 14 September 2020

Memperkuat Ciri Khas Wisata Kota Palangka Raya

 

Pada umumnya jika kita berkunjung ke sebuah kota hal apa yang paling diingat, tentu saja objek wisata dan citra khas kota yang melekat di dalamnya. Misalnya saja bila kita berkunjung ke Kota Palembang yang kemudian akan mudah kita citrakan dengan Jembatan Ampera, Empek-Empek dan Sungai Musi. Atau tak perlu jauh, ketika kita menyebut Banjarmasin tentu ingatan kita akan tertuju kepada pasar terapung, Bekantan  atau soto banjar. 

 

Kota tersebut dan banyak kota lainnya di Indonesia sudah memiliki citra, identitas dan ciri khas yang dikenal umum oleh masyarakat. Sehingga jika kita berkunjung ke kota-kota itu rasanya kurang lengkap jika tidak berkunjung atau mengenal lebih dekat dengan objek yang menjadi ciri khas kotanya.

 

Kemudian bayangkan jika kita wisatawan yang berkunjung ke Kota Palangka Raya. Apa kira-kira ciri khas dan citra dari kota ini yang kemudian akan membuat kita langsung teringat kembali ketika sudah pulang. Mungkin jawabannya bisa beraneka ragam. Itu membuktikan bahwa belum ada kesepakatan yang bulat mengenai ciri khas dan identitas utama Kota Palangka Raya

 

Maka dari itu Kota Palangka Raya perlu mencitrakan dan membangun kembali identitasnya agar ia memiliki sebuah ciri khas yang dikenal umum dan berbeda dari kota yang lain dimata semua orang. Mencitrakan kembali yang dimaksud bisa jadi promosi ikon atau landmark kota, kuliner khas daerah, dan tempat wisata dengan kearifan lokal. Berikut beberapa ide  untuk mencitrakan kembali identitas Palangka Raya agar pariwisata Palangka Raya kian berkembang menjadi sebuah kota yang memiliki ciri khas identik seperti kota lainnya. 

 

Dari beberapa riset dan pengamatan pribadi setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi fokus utama pengembangan citra dan identitas kota Palangka Raya diantaranya adalah:

 

1.         Tugu Soekarno


Kawasan Tugu Soekarno


Tugu ini sebenarnya adalah sebuah monumen pemancangan tiang pertama pembangunan kota Palangka Raya yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957. Karena peresmiannya dilakukan oleh Presiden pertama RI, akhirnya hingga kini masyarakat akrab menyebutnya dengan sebutan Tugu Soekarno. Tugu ini adalah bagian dari sejarah besar Kota Palangka Raya dan Provinsi Kalimantan Tengah.

 

Kini sekitar lokasi tugu tersebut sudah dipugar dan dipercantik oleh pemerintah Kota Palangka Raya. Bahkan kini menjadi salah satu objek wisata dan tempat bersantai bagi masyarakat. Namun masih ada yang perlu dikembangkan lagi dari objek wisata ini, yaitu harus ada sebuah pencitraan yang kuat sehingga ini bisa menjadi landmark utama kota Palangka Raya. 

 

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan membuat kawasan tersebut jadi lebih ekslusif. Sama seperti bila kita ingin masuk ke kawasan Tugu Monas atau Candi Borobudur dengan menarik retribusi. Di dalamnya pemerintah dapat membuat sebuah museum kecil yang berisikan foto-foto dan tulisan mengenai sejarah dan perkembangan Tugu Soekarno. Kalau boleh mencontoh, persis seperti kawasan Tugu Khatulistiwa dimana tugu yang asli dibuatkan kubah untuk menjaga nilai dan keaslian sejarah. Kemudian di dalam kubah tersebut terdapat banyak informasi sejarah yang dimuat sebagai bahan referensi bagi pengunjung.

 

Di Sekitar Tugu Soekarno juga dapat dibuat beberapa kios atau lapak untuk para pedagang kuliner dan pedagang cindera mata khas Kota Cantik. Salah satu cindera mata yang menarik bagi saya adalah miniatur tugu pemancangan tiang pertama kota Palangka Raya atau tugu Soekarno. Karena sampai saat ini, Kota Palangka Raya belum memiliki cinderamata berupa landmark yang jika dibawa pulang oleh wisatawatan akan mengingatkan langsung dengan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Selama ini yang banyak dijual adalah hasil kerajinan tangan seperti kerajinan dari getah nyatu, rotan, batu dan lainnya. Dimana kerajinan tangan tersebut juga dimiliki oleh daerah lain di Kalimantan.

 

Maka, salah satu alternatif lain adalah dengan membuat miniatur Tugu Soekarno. Miniatur ini bisa membuat para wisatawan akan selalu ingat dengan Palangka Raya karena berupa sebuah landmark kota. Ketika setiap wisatawan pulang membawa miniatur tersebut kemudian dipajang di etalase, maka ini bisa jadi salah satu promosi gratis yang akan menarik minat wisatawan lain untuk datang ke Palangka Raya.

 

 Dengan begitu perlahan tugu pemancangan tiang pertama kota Palangka Raya akan menjadi sebuah ikon kuat bagi Kota Palangka Raya yang kaya akan sejarah. Lalu pada akhirnya akan menjadi salah satu destinasi wajib wisatawan bila berkunjung ke Kota Palangka Raya.

 

Diharapkan dengan hal-hal tersebut selain meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi pariwisata juga dapat menjaga kawasan ini dari vandalisme, serta tetap menjaga nilai-nilai sejarah di sekitar Tugu Soekarno ini.

  

2.         Wisata Air Hitam Sebangau dan Sei Gohong



Kawasan Air Hitam Sei Gohong


umber foto : disbparbudpora.palangkara.go.id
Sumber foto : disparbudpora.palangkaraya.go.id

Sumber foto : pariwisataku.com
Kawasan Air Hitam Sei Gohong

Kota Palangka Raya memiliki dua objek wisata air hitam yang populer yaitu Objek Wisata di Kereng Bangkirai dan Objek Wisata Sei Gohong. Berdasarkan penelusuran di google dengan kata kunci wisata air hitam, hasil yang keluar di halaman pertama adalah wisata air hitam yang ada di Pelabuhan Kereng Bangkirai Kota Palangka Raya. Hal ini membuktikan bahwa wisata air hitam ini sudah lumayan populer dan melekat kuat jadi ikon wisata kota Palangka Raya. Ini adalah salah satu keberhasilan Pemerintah dalam mencitrakan dan mempromosikan objek wisata di wilayahnya. 

 

Namun dibandingkan dengan Air Hitam di Sebangau, objek wisata Air Hitam di Sei Gohong tampak kurang adanya perhatian lebih dari pemerintah terkait perawatan dan pengembangan. Maka agar identitas air hitam semakin melekat, pemerintah perlu kiranya memperkuat pula promosi kawasan wisata air hitam lainnya yaitu di Sei Gohong.. Salah satunya adalah dengan sering melakukan kegiatan dan event pemerintah di dua lokasi tersebut. Sehingga antara Wisata Air Hitama di SEbangau atau dermaga Kereng Bangkirai dan Sei Gohong memiliki promosi yang seimbang dan lebih dikenal, agar kemudian wisatawan juga berminat mengunjungi wisata air hitam di Sei Gohong.

 

Salah satu kebijakan lainnya adalah mengadakan sayembara desain kawasan wisata air hitam agar dapat menggali ide-ide dari publik terkait pengembangan dua objek wisata tersebut agar semakin cantik dan diminati. Sehingga pada akhirnya seluruh masyarakat akan mencitrakan wisata air hitam yang paling populer hanya ada di Palangka Raya.


3.         Makanan Khas


Sumber foto : cookpad.com
Kandas Serai

Sumber foto : cookpad.com
Juhu Singkah (Rotan)

Sumber foto : beritabeta.com
Sayur Kelakai

Makanan khas suatu daerah juga merupakan objek menarik bagi wisatawan yang berkunjung. Namun pada kenyataannya di setiap rumah makan yang ada di Kota Palangka Raya jumlah makanan khas lokal sedikit jumlahnya. Makanan lokal seakan tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Padahal sebenarnya Palangka Raya juga memiliki banyak masakan tradisional yang khas. 

 

Setelah dilakukan riset kecil, ada tiga makanan khas yang memang asli Palangka Raya yaitu Kandas Serai, Juhu singkah (rotan) dan Sayur Kelakai. Tiga makanan khas lokal yang tidak ditemukan di provinsi lain dan sudah sering dibahas oleh pewarta di media-media nasional. Jadi usaha selanjutnya dari kita semua  adalah tinggal memperkuat citra tersebut.

 

Terkait kebijakan mencitrakan identitas masakan khas tersebut, Pemerintah bisa melakukan sosialisasi kepada seluruh pemilik rumah makan agar memasukan tiga masakan lokal tersebut sebagai pilihan menu makanan. Bisa pula melakukan pemberdayaan dan pinjaman modal kepada masyarakat lokal untuk membuka rumah makan dengan menu utama kandas serai, juhu singkah dan sayur kelakai di beberapa tempat terutama di objek wisata di Palangka Raya. Hal lainnya pemerintah dapat menggelar kegiatan rutin festival kuliner atau sayembara untuk mengangkat "merek" dari tiga makanan khas Palangka Raya ini.

 

Kita ingin Palangka Raya setidaknya memiliki satu makanan khas yang citranya melekat kuat dibenak masyarakat dan wisatawan yang berkunjung misalnya saja yaitu Kandas Serai. Sama seperti ketika kita mengidentikan Banjarmasin dan Soto Banjar, Jogja dan Gudeg. Adapun cemilan dan oleh-olehnya bisa berupa sayur kelakai yang sudah dikreasikan. Karena seringkali makanan dan cemilan yang dijual di toko oleh-oleh Palangka Raya banyak berupa amplang. Padahal Palangka Raya bukanlah daerah penghasil produk-produk ikan laut.

 

Tiga fokus itulah menurut saya yang kiranya kalau diterapkan akan dapat menciptakan ikon dan citra khas kota Palangka Raya yang kuat dibenak para wisatawan. Menurut data statistik yang diterbitkan oleh Badan Pusat Stasistik (BPS) Kota Palangka Raya dalam buku "Kota Palangka Raya dalam Angka 2020" kunjungan wisatawan domestik ke Palangka Raya selama tahun 2019 adalah sebanyak 3.865 orang. Sedangkan wisatawan mancanegara sebanyak 389.235 orang. Ini adalah jumlah yang cukup potensial bagi kita seluruh masyarakat Palangka Raya secara bersinergi untuk mulai menciptakan fokus ciri khas identitas lokal. Tentu saja ini adalah tugas kita bersama baik melalui peran pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan citra khas Palangka Raya agar lebih terkenal ke level nasional hingga internasional.👍

Kamis, 29 November 2018

Pontianak Kota Khatulistiwa


Berdasarkan letak geografis, sebenarnya Kota Palangka Raya ibukota Kalimantan Tengah dan Pontianak ibukota Kalimantan Barat terletak di satu pulau, yaitu sama-sama di Kalimantan. Namun karena bentang pulaunya yang sangat luas menyebabkan jarak kedua ibukota provinsi ini mencapai sekitar 1000 Km lebih. Keadaan ini membuat Palangka Raya dan Pontianak seolah dua saudara yang tak saling kenal.
Sebuah perjalanan dinas selama 3 hari pada akhir Oktober 2018 kemarin akhirnya mengantarkanku untuk kali pertama berkunjung ke kota Pontianak, Kalimantan Barat. Provinsi tetangga yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Jika menempuh jalur darat akan memakan waktu yang tidak sedikit, bisa sampai 18 jam lebih perjalanan. Suatu perjalanan yang panjang dan melelahkan pastinya.
Maka dari itu transportasi yang efektif untuk menghubungkan antara Palangka Raya dan Pontianak adalah melalui jalur udara dengan pesawat terbang. Sebelum mendarat di bumi garis khatulistiwa, pesawat terlebih dahulu melintas di atas kota Pontianak tepatnya di sepanjang garis sungai Kapuas hingga Bandara Supadio. Di atas sini kita bisa melihat beberapa pemandangan Kota Pontianak yang terlihat cukup padat dari atas langit.
Setelah beberapa menit bermanuver akhirnya pesawat pun mendarat di Bandara Internasional Supadio. Bandara yang terletak sekitar 17 Km dari kota Pontianak ini secara administratif berada di wilayah Kabupatan hasil pemekaran, Kabupaten Kubu Raya. Kalau dilihat interior bandaranya sudah sangat modern, bersih dan nyaman sama seperti standar bandara modern di Indonesia yang dikelola oleh Angkasa Pura. Di jalur kedatangan pengunjung bisa berfoto dengan miniatur tugu khatulistiwa, ikonnya kota Pontianak di salah satu sudut bandara.
 
Miniatur Tugu Khatulistiwa di Bandara Supadio
Setelah cek in hotel di kawasan jalan Gajah Mada dan dilanjutkan makan siang, kami pun langsung meluncur mencari tempat untuk bersantai menikmati sore. Pilihan pun jatuh di Alun Kapuas Park karena tidak jauh dari tempat kami menginap. Alun Kapuas Park ini adalah sebuah taman yang dibangun ditepi sungai Kapuas. Kalau istilah kerennya sih waterfront city. Melihat lokasi dan pemandangannya hampir mirip seperti waterfront city di Kota Sampit dengan sungai Mentaya-nya atau Dermaga Flamboyan-nya Kota Palangka Raya.  


Alun Kapuas Park Pontianak
Di Alun Kapuas Park adalah tempat yang sangat stabil untuk bersantai sambil memandangi sungai Kapuas, Sungai yang terpanjang di Indonesia. Bagaimana tidak terpanjang, karena aliran sungainya sampai tembus ke Kalimantan Tengah. Itulah kenapa di Kalimantan Tengah ada salah satu kabupaten yang bernama Kabupaten Kuala Kapuas, karena kotanya juga dilalui oleh sungai ini.
 Bersantai sore di Alun Kapuas Park Pontianak

 Waterfront City
 Saat kami berkunjung ke Alun Kapuas Park, hampir tak ditemukan pedagang kaki lima. Sebagai gantinya yang ada adalah pedagang kaki lima terapung, hehe. Tak jauh beda dengan pedagang pasar terapung di Banjarmasin, hanya saja disini menggunakan kapal yang lebih besar dengan menawarkan beraneka jajanan dan minuman.

 PKL Terapung
Selain itu ada juga kapal yang menyerupai kafe terapung. Kapal ini juga merangkap sebagai kapal wisata susur sungai. Kami pun mencoba menjajal kapal susur sungai ini. Rutenya memang tak jauh hanya seputaran kota Pontianak saja. Setiap penumpang hanya dipungut biaya 5 ribu rupiah saja. Tapi kita sudah dapat menikmati beberapa keindahan dan kearifan lokal tepian sungai Kapuas di Pontianak. Kuperhatikan hampir seluruh tepian sungai Kapuas ini sudah dibuatkan siring, sehingga kondisinya tak memungkinkan lagi adanya rumah terapung tradisional (lanting) yang banyak mengapung di tepi sungai seperti di Palangka Raya.

 Cafe terapung dan susur sungai
Melihat pemandangan di kiri dan kanan selama susur sungai, aku jadi teringat dengan pemandangan susur sungai di Banjarmasin yang suasananya hampir mirip. Dalam rute tersebut kami pun ada melewati sebuah masjid berbahan dasar kayu dengan warna cat dominan kuning. Arsitekturnya unik dan klasik dengan puncak atapnya terlihat menyerupai lonceng. Ketika aku searching di google, ternyata itu adalah masjid Jami’ Pontianak atau Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Masjid tertua dan bersejarah di Kota Pontianak. Katanya masjid ini merupakan salah satu bangunan yang menjadi penanda berdirinya kota Pontianak pada tahun 1771. Pas kami melintas, saat itu kebetulan sedang masuk waktu shalat magrib. Tampaknya banyak juga orang-orang yang shalat di masjid tersebut. Langsung aja muncul keinginan untuk shalat di masjid tersebut sebelum pulang ke kota asal, sekaligus berfoto dengan masjid yang berusia ratusan tahun tersebut. Namun apa daya, karena waktu tak sempat, niat tersebut pun akhirnya tak kesampaian.
Masjid Jami’ Pontianak
Hari kedua kami pun mulai berurusan ke salah satu kantor pemerintahan Provinsi Kalbar. Hampir sebagian besar kantor-kantor pemerintahannya masih menggunakan struktur bangunan lama. Hal tersebut terlihat dari model bangunan, dan interiornya yang tampak tak tersentuh renovasi. Kalau boleh dibandingkan masih lebih bagus kantor komplek kantor Gubernur Kalteng dibandingkan Kantor gubernur Kalbar. Dan kalau boleh dibandingkan juga, bangunan milik swasta di Kota ini lebih mentereng dibandingkan bangungan milik Pemerintah.
Setelah urusan dinas beres, siangnya  kami pun kembali pulang ke hotel untuk makan siang dan istirahat. Karena besoknya sudah pulang ke kota asal, maka sore itu kami memutuskan untuk pergi ke tempat pusat penjualan oleh-oleh. Sebagai bekal untuk dibawa pulang. Sebelum mendarat di Kota Pontianak aku sudah mengincar dan punya bayangan akan membawa pulang apa nantinya.
Berdasarkan hasil tanya sini dan tanya situ, maka kami di rekomendasikan belanja di Komplek PSP, pusat oleh-oleh khas Pontianak yang terletak di Jalan Pattimura. Disini berjejer kios-kios yang menjual berbagai macam souvenir mulai dari baju adat, aksesoris, hiasan, miniatur dan lainnya. Pokoknya khas dan unik. Tak Cuma itu disitu juga dijual beraneka makanan dan cemilan khas Pontianak seperti dodol, manisan dan lainnya.
 Disana aku lebih tertarik untuk membeli miniatur Tugu Khatulistiwa. Ternyata miniatur dengan ukuran sedang yang kubeli cukup terjangkau dengan harga 50 ribu. Apalagi desainnya unik dan mewah berada di dalam kaca. Disana ada pula miniatur yang dijual lebih kecil sekitar 25 ribu. Kalau  miniatur yang lebih besar yang ada lampunya dengan kisaran harga 100 ribu ke atas. Selain miniatur aku juga membeli hiasan dinding berbingkai dengan aneka pilihan gambar yang katanya canvasnya terbuat dari kulit kambing. Selebihnya aku juga membeli oleh-oleh berupa camilan yang ternyata juga murah meriah dengan harga mulai dari 10 ribu. Benar-benar pusat oleh-oleh dengan harga yang cukup terjangkau. Setelah puas berbelanja kamipun balik kanan lagi ke penginapan.

 
 Pusat Oleh-Oleh Kawasan PSP
Tempat kami menginap berada di Jalan Gajah Mada, yang mana sepenglihatanku di jalan ini tampak seperti kawasan perhotelan. Di sepanjang jalan ini dan sekitarnya banyak berjejer hotel- hotel mulai dari yang mewah sampai yang hotel biasa saja. Itulah mungkin yang menyebabkan harga makanan di kawasan ini cukup tinggi kalau menurutku. Setidaknya untuk satu porsi makanan ala warteg ya minimal 25 ribu.
Pernah waktu aku sarapan pagi di kawasan jalan Hijaz, masih satu kawasan juga dengan Jalan Gajah Mada. Aku mencoba memesan makanan nasi kuning. Rupanya nasi kuning di Pontianak berbeda dengan di Kalteng dan Kalsel. Jika ditempat asalku nasi kuningnya beraneka pilihan lauk dengan dilumuri bumbu masak merah . Nah kalau di kota khatulistiwa ini nasi kuningnya tidak pakai bumbu masak merah, dan hanya ayam goreng saja lauknya dengan ditambah sedikit sayuran. Persis nasi uduk, hanya yang ini warnanya kuning. hehe. Harganya ya itu tadi agak lumayan lah. Tapi kalau dipikir lagi ya wajar saja kalau harganya segitu, karena letak warungnya berada di kawasan perhotelan. Pembelinya pun rata-rata para penghuni hotel di sekitar situ.
  
 Nasi Kuning Khas Pontianak


Salah Satu Potret Jalan Hijaz Kota Pontianak
Tak banyak ruas kota Pontianak yang ku lewati selama di kota itu. Paling hanya daerah-daerah inti dan kawasan jalan protokol saja yang dilalui saat menuju ke tempat tujuan. Dapat dikatakan Pontianak ini adalah salah satu kota besar, dengan jumlah penduduk yang di kisaran 665 ribuan jiwa. Jauh beda dengan jumlah warga Kota Palangka Raya yang berkisar di angka 250 ribuan jiwa.
Hal tersebut wajar memang mengingat Pontianak termasuk salah satu kota tua di Indonesia dengan usia pada tahun 2018 menginjak 247 tahun. Selain itu Pontianak juga merupakan kota pelabuhan dan sekaligus kota bisnis. Jadi wajar saja jumlah penduduk dan kemajuan kotanya cukup berkembang.
Kalau diperhatikan suasana jalanan  dan kehidupan warga Kota Pontianak ini agak mirip dengan Kota Banjarmasin. Sibuk dan ramai dengan aktivitas ekonomi, di kiri dan kanan jalan banyak berdiri bangunan bertingkat. Di kota ini ada beberapa titik jalan yang kerap dilanda kemacetan.
 Jalanan tak pernah lengang selalu dipenuhi oleh bermacam kendaraan. Keadaan tersebut juga didukung oleh kondisi jalan dalam Kota Pontianak yang cukup bagus dan mulus. Bahkan ada salah satu kawasan yang kulihat mirip sekali dengan kawasan Jalan A. Yani di Banjarmasin. Malah di beberapa kawasan kota Pontianak yang lain, aku melihat sudut kotanya mirip pula dengan salah satu sudut kota di Jakarta.
   
 Salah Satu Gedung di Kota Pontianak

  
  Kawasan Perhotelan di Jalan Gajah Mada
   
 Salah Satu ruas Jalan di Pontianak
Meski tak semua, banyak toko-toko milik pengusaha etnis Tionghoa yang menuliskan plang tokonya dengan huruf mandarin. Disini wajah-wajah oriental tak sulit ditemukan. Pernah salah satu teman iseng menanyakan kawasan yang banyak kumpulan “amoi-nya” kepada rekan yang asli Pontianak. Dikatakannya bahwa orang-orang yang berwajah Tionghoa lebih banyak di Kota Singkawang.
Oh iya orang-orang Pontianak mayoritas menggunakan bahasa melayu untuk percakapan sehari-hari. Setidaknya itu yang sering aku dengar. Ya agak mirip sedikit lah dengan bahasa dan logatnya Upin Ipin. Hehe.
Tampaknya beberapa warga awam Pontianak banyak yang tidak tau Palangka Raya itu dimana khususnya para supir dan pedagang. Ketika disebutkan ibukota dari Kalimantan Tengah barulah mereka ngeh. Bagi mereka tampaknya Palangka Raya semacam kota yang nun jauh disana padahal cuma tetanggaan. Hehe. Lain halnya dengan Pontianak yang sudah cukup dikenal oleh warga Palangka Raya yang awam sekalipun yaitu sebagai daerah penghasil buah langsat dan jeruk dengan rasa khas.
Untuk angkutan umum di Kota Pontianak memang untuk taksi, angkot dan lainnnya agak jarang terlihat. Dengan kata lain agak susah juga mencari transportasi di Kota ini. Tapi mengingat sudah hadirnya ojek online di kota ini seperti Grab dan Gojek  membuat urusan transportasi tak lagi hal yang perlu dirisaukan. Cuma masalahnya ya itu harus punya smartphone jika ingin memesan angkutan online ini.


Jembatan di Pontianak


 Meskipun berstatus sebagai kota pelabuhan, tapi wilayah geografis kota Pontianak tidak berbatasan langsung dengan garis pantai. Jadi kalau mencari wisata alam semacam pantai ya mesti ke Singkawang dulu dengan perjalanan sekitar 2 jam dari kota Pontianak. Sama seperti Palangka Raya dan Banjarmasin, kota yang tak memiliki pantai.
Tapi meskipun tak memiliki wisata alam di dalam kotanya, Pontianak masih memiliki banyak tempat wisata bersejarah dan  terkenal hingga ke mancanegara. Selain masjid dan keraton yang berusia ratusan tahun, Pontianak juga memiliki tempat wisata unggulan yaitu Tugu Khatulistiwa. Tugu inilah yang menjadi ikon kota Pontianak. Tugu Khatulistiwa ini pulalah yang menjadi “jualan” utama pariwisata Kalbar baik nasional maupun internasional.
 
 Tugu Khatulistiwa

Tugu Khatulistiwa terletak sekitar 10 Km dari pusat kota Pontianak. Tugu yang dibangun pada tahun 1928 tersebut adalah titik nol bumi yang peris dilalui oleh garis ekuator. Di titik inilah ada garis khatulistiwa yang memisahkan antara belahan bumi utara dan belahan bumi selatan.  Di titik ini pula setiap tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa yang menyebabkan bayangan benda tak terlihat selama beberapa detik. Fenomena yang dinamakan Kulminasi Matahari.
Memang di dunia ini ada 12 negara yang dilintasi oleh garis khatulistiwa. Di Indonesia pun ada beberapa titik wilayah yang dilintasi oleh garis ini. Bedanya titik tersebut tak tepat berada di pusat kota. Nah kalau di Pontianak, garis khatulistiwa tepat membelah di kota ini sehingga dekat kalau dikunjungi. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan perayaan yang selalu dilakukan setiap kulminasi matahari. Itulah yang membuat Kota Pontianak ini istimewa. Itu pula sebabnya banyak wisatawan mancanegara yang datang berkunjung saat titik kulminasi matahari.
Sebenarnya titik khatulistiwa yang ada tugunya bukanlah titik khatulistiwa yang tepat. Pada tahun 2005 dilakukan koreksi oleh tim ahli. Hasilnya, titik nol garis khatulistiwa yang sebenarnya berada 117 meter ke arah sungai Kapuas dari tugu Khatulistiwa. Tak jauh dari titik semula. Akhirnya dibangun lagi patok dari pipa untuk menandakan titik Khatulistiwa yang baru.
 

 Patok garis khatulistiwa setelah dilakukan koreksi
Tugu Khatulistiwa yang terlihat menjulang tinggi di atas kubah museum Khatulistiwa itu pun bukan tugu aslinya. Itu hanya replikanya saja. Tugu asli yang dibangun pada tahun 1928 itu dapat dilihat di dalam museum, berdiri tegak di dalam museum.

 Tugu Khatulistiwa yang asli sejak 1928 berada di dalam museum tugu.
   
 Interior museum tugu khatulistiwa.
             Saat itu adalah hari terakhir kami di Pontianak, kebetulan pesawat baru akan akan berangkat pada siang hari. Pagi itu rekan-rekanku tak ada yang mau diajak jalan-jalan lagi. Padahal aku belum berkunjung ke Tugu Khatulistiwa. Rasanya ada yang kurang kalau berkunjung ke suatu kota tapi tak mampir ke landmarknya. Kata orang sih kalau berkunjung ke Pontianak belum sah kalau belum wisata ke Tugu Khatulistiwa. Akhirnya karena tak ada yang mau ikut dengan nekat akupun pergi sendirian ke tugu Khatulistiwa.
 Berhubung saat itu adalah hari kerja alias bukan hari libur, jadi tempat wisata tersebut terlihat sepi saat aku kunjungi. Di dalam museum selain dapat melihat tugu yang asli, kita juga dapat melihat foto-foto jadul dan sejarah tugu khatulistiwa. Berwisata ke lokasi bersejarah dan fenomenal seperti tugu khatulistiwa ini sungguh menarik. Banyak informasi dan pengetahuan yang kudapatkan ketika berkunjung kesini. Gembira dan senang sekali rasanya bisa kesampaian ke tugu ini.
Hanya sedikit saran untuk pemerintah setempat agar lebih memperhatikan kawasan wisata ini. Pemerintah harus lebih mengoptimalkan kondisi lingkungan dan fasilitas di objek wisata Tugu Khatulistiwa.
Sepulang dari Tugu Khatulistiwa, karena di sana tak ada Ojek Online yang beroperasi aku pun menumpang oplet sampai ke dermaga Ferry penyebrangan. Dermaga penyeberangan Ferry ini terletak kurang lebih 4 Km dari Tugu Khatulistiwa. Dermaga Ini adalah jalur terdekat untuk sampai ke pusat kota Pontianak. Jika melalui jembatan agak jauh karena harus memutar. Sedangkan melalui penyeberangan ini agak sedikit menghemat waktu karena langsung menyeberang ke Alun Kapuas Park. Persis seperti Ferry penyeberangan di Kabupaten Kapuas yang banyak digunakan oleh masyarakat ketimbang harus memutar jauh melalui jembatan.
  
 Ferry penyeberangan orang dan kendaraan

Pukul 11.30 sesampai di hotel aku  dan rekan-rekan pun langsung cek out dan bersiap untuk berangkat ke Bandara Supadio. Untung saja aku sempat berkunjung ke Tugu Khatulistiwa ikon utama Pontianak dan Kalbar. Karena aku tidak tau kapan lagi aku bisa kembali ke kota ini. Mengingat sulitnya transportasi yang efektif dan murah untuk sampai ke Provinsi ini jadi ya kalau tidak ada urusan tak mungkin dalam waktu dekat akan kembali lagi.
Saat ini di kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah Kementerian PUPR sedang mengerjakan sebuah proyek jembatan yang nantinya akan menjadi jalur alternatif penghubung Kalteng dan Kalbar. Yah semoga saja ketika jalur ini sudah terbuka dan mulus, setidaknya dapat memperpendek jarak antara Palangka Raya dan Pontianak dengan lama perjalanan tak sampai 12 jam. Sehingga harapannya di masa depan warga Palangka Raya dan Pontianak sudah biasa saling berkunjung.


Label