Jika berbicara fakta dalam urusan
literasi, Indonesia adalah negara yang disebutkan UNESCO pada tahun 2016 berada
pada urutan kedua dari bawah dari 60 negara yang di Survey. Pada tahun 2023 ini
pun peringkatnya masih kurang menggembirakan, masih berada di sepuluh besar
dari bawah. Sebuah alarm tentunya bagi masa depan pendidikan di Indonesia.
Meskipun tingkat melek huruf rakyat Indonesia saat ini sudah hampir menyentuh 100%, (kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan saat negara ini di proklamasikan) Namun literasi tidak terbatas hanya pada kegiatan bisa membaca saja. Lebih jauh daripada itu literasi bisa diartikan sebagai aktivitas membaca suatu bacaan, memahami bacaan dan menginterpretasi suatu bacaan melalui media apapun baik lisan, tulisan, gambar dan video. Dalam konteks ini membaca tentu saja adalah membaca buku yang lebih utama.
Pendidikan adalah sebuah upaya untuk
mencerdaskan bangsa. Salah satu komponen agar suatu bangsa cerah dan cerdas
adalah dengan membaca buku. Namun sayang, tampaknya membaca buku belumlah
menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia kebanyakan. Kegiatan membaca buku
bukan menjadi keseharian yang umum bagi sebagian masyarakat kita. Sehingga akan
timbul sedikit gegar budaya jika terlihat dan terdengar ada orang membaca buku
di tempat umum di negeri ini.
Padahal membaca buku adalah jendelanya
ilmu pengetahuan. Banyak hal yang penting didapatkan dari membaca buku. Tak
sekedar informasi dan pengetahuan yang didapat, membaca buku juga dapat
mengembangkan pola pikir, imajinasi, kreativitas, sampai yang lebih penting adalah merubah
mindset dan perilaku individu.
Finlandia dan Jepang yang merupakan negara dengan peringkat literasi masyarakatnya yang tinggi memiliki perilaku umum yang relatif positif, modern dan berkembang. Meskipun tak ada penelitian langsung terkait hal tersebut. Namun hampir semua negara yang tingkat literasinya tinggi adalah negara yang maju dan modern. Sebagai contoh bagaimana perilaku tertib, antri dan cinta kebersihan sudah menjadi budaya bagi masyarakat Jepang. Tentu saja di negara ini aktivitas membaca buku sudah jadi pemandangan yang biasa ditempat umum.
Selama ini pemerintah Indonesia telah
melakukan berbagai pendekatan dan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dan kualitas hasil masyarakat terdidik. Porsi anggaran 20% dari APBN khusus
diberikan kepada sektor pendidikan sebagai bukti perhatian pemerintah terhadap
upaya peningkatan pendidikan. Tak cuma itu, upaya untuk menumbuhkan minat baca
pun terus dilakukan dengan peningkatan fungsi perpustakaan dan pengadaan buku
bacaan. Hanya saja sektor hulu strategi meningkatkan minat baca belum terlalu
fokus dibenahi seperti masalah royalti penerbitan, subsidi untuk penerbitan dan
percetakan sehingga menghasilkan buku yang murah.
Padahal membiasakan rajin membaca buku
adalah salah satu faktor sukses untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Percuma
saja rasanya kalau setiap siswa atau anak usia sekolah tapi belum menamatkan
satupun buku bacaan. Kalaupun membaca, itu pun buku yang dibaca hanya sekedar
bahan pembelajaran di sekolah yang dibaca dan dibuka setiap musim ujian atau
pada saat ingin mengerjakan soal dan pertanyaan dari guru.
Membiasakan diri membaca buku
merupakan urusan yang kompleks dan besar. Jika kita berharap tumbuh minat baca
dari lingkungan, rasanya hampir sebagian besar lingkungan tidak mendukung
terciptanya kondisi tersebut. Lingkungan keluarga Indonesia amat sedikit yang
membudayakan membaca di dalam keluarganya. Begitupun hanya sedikit saja mungkin
yang memiliki perpustakaan pribadi dirumahnya.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan
untuk meningkatkan minta baca adalah dengan dipaksa. Ya untuk menjadikan
membaca buku jadi sebuah budaya di negeri ini tentu harus dilakukan pemaksaan.
Seperti layaknya Polisi Lalu Lintas yang menegakkan berbagai peraturan untuk
membuat tertib para pengendara bermotor, dan memang efektif menciptakan
ketertiban di jalan raya. Artinya jika
minat baca ingin berkembang di masyarakat Indonesia, harus ada regulasi khusus
yang mengatur hal tersebut. Harus ada pemaksaan bagi masyarakat agar rajin
membaca, yaitu kepada masyarakat sekolah.
Salah satu bentuk regulasi itu adalah
dengan memasukkan wajib membaca buku ke dalam kurikukulum setiap jenjang
pendidikan mulai SD hingga SMA. Selama ini membaca buku terkesan bukanlah
bagian krusial bagi semua tingkatan pengajaran. Buku hanya sebagai bahan ajar
untuk mendidik dan bahan untuk belajar. Bukan sebagai sarana mencari informasi
ataupun relaksasi.
Terkait upaya itu untuk jenjang SD
setiap satu atau dua pekan sekali para guru mewajibkan setiap siswa untuk
membaca buku yang sesuai dengan minat dan tingkat usianya. Kemudian
masing-masing siswa akan diminta untuk menjelaskan dan menginterpretasikan
secara singkat isi buku yang telah dibaca sesuai pemahamannya. Begitu juga
untuk jenjang SMP dan SMA dilakukan hal yang serupa. Sehingga dengan begini
akan tercipta sebuah ekosistem sekolah dimana aktivitas membaca jadi sebuah
budaya.
Sehingga ketika hal tersebut sudah
menjadi kebiasaan, para siswa yang awalnya “terpaksa” membaca, diharapkan akan
rajin membaca juga ketika berada di luar sekolah. Karena semua jenjang sekolah
mulai SD hingga SMA sudah terbiasa membaca dan jadi suatu aktivitas wajib di
sekolah, maka diharapkan tidak akan jadi sebuah hal yang baru dan mengherankan
lagi jika membaca buku dimana saja. Hal seperti ini jika konisten dilaksanakan
selama bertahun-tahun dari generasi ke generasi, tentu akan mampu menjadikan
gemar membaca menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Metode tersebut sudah terbukti efektif
meningkatkan minat baca di Finlandia. Negara Finlandia mewajibkan para siswa
sekolah dasar untuk membaca satu buku satu minggu. Jenjang SD saja wajib satu
buku satu minggu, lalu bagaimana dengan jenjang SMP dan SMA tentu akan lebih
banyak lagi bahan bacaannya.
Tapi tentu saja jika hal tersebut di
implementasikan tidak bisa berdiri sendiri. Perlu adanya dukungan dari berbagai
sistem seperti perbaikan sistem perbukuan, harga buku yang terjangkau atau
perpustakaan dengan koleksi yang lengkap dan mudah diakses oleh masyarakat.
Selain itu kualitas sumber daya manusia pendidiknya juga perlu dibenahi dengan
berbagai macam formulasi. Karena akan kurang maksimal menerapkan wajib membaca buku di sekolah jika
gurunya sendiri tidak suka membaca buku.
Sehingga jika gemar membaca sejak dini
sudah mendarah daging, sudah banyak buku dan bacaan yang tertanam dalam pikiran
, maka bukan tidak mungkin seseorang itu akan jadi pribadi yang unggul.
Bayangkan jika membaca buku sudah jadi budaya, berapa banyak siswa terdidik
yang tercerahkan oleh pendidikan. Betapa banyak anak bangsa yang tercerdaskan
kehidupannya setelah menempuh pendidikan yang bermutu. Setiap orang akan
berkembang kapasitasnya sesuai dengan buku-buku yang ia baca. Jadi apapun profesi yang digeluti oleh
seseorang, jika rajin membaca buku maka akan menjadikannya orang yang lebih
ahli dan berpengetahuan di bidang tersebut.
Mungkin saja jika bangsa kita ini
tingkat literasi masyarakatnya tinggi, maka Indonesia akan menjadi negara yang
maju, berkualitas dan unggul di segala bidang. Sehingga tak akan kita temui
berbagai macam pelanggaran ketertiban di masyarakat, tingkat kriminalitas pun
relatif rendah, minimnya kenakalan remaja dan penyakit masyarakat, tingkat
korupsi yang rendah, aparatur negara yang jujur, dan penegakan hukum yang adil.
Apalagi Indonesia adalah negara beragama yang tingkat religusitas para
pemeluknya yang lumayan tinggi. sehingga kombinasi masyarakat literasi-religus
ini akan menjadikan Indonesia negara maju yang berakhlak dan berbudaya yang
berbeda dari bangsa lain. Semoga.