Sutradara : Joko Anwar
Skenario : Joko Anwar, Sisworo Gautama Putra
Pemain : Bront
Palarae, Tara Basro, Endy Arfian, Nasar Annuz, M. Adhiyat
Genre : Horor
Durasi : 1 Jam 47 Menit
Tahun
rilis : 2017
Rating : 8
Nama Joko Anwar lah yang membuatku tertarik menonton film ini. ia adalah
seorang sutradara film yang dikenal spesialis thriller dan horor dengan ending yang tak biasa.
Beberapa karyanya sering meraih penghargaan di berbagai ajang festival film
internasional. Kebetulan juga beberapa filmnya hampir semua sudah aku tonton
sebelumnya, dan memang film hasil penyutradaraan dari Joko Anwar ini berbeda
dan cukup berkelas.
Film
pengabdi Setan adalah film yang di remake dari film yang berjudul sama yang
dirilis oleh Rapi Film pada tahun 1980.
Sisworo Gautama Putra yang pada saat itu menjadi sutradara film ini
menjadi salah satu penulis cerita dan skenario di remake Pengabdi Setan (2017).
Dan terus terang saat tulisan ini kubuat, aku belum pernah menonton film yang
versi lawasnya.
Pengabdi
Setan berkisah tentang sebuah keluarga yang ditinggal mati oleh ibunya yang mantan seorang penyanyi.
Kematian ibunya tersebut didahului dengan keadaan sakit keras yang sudah lama
diderita. Karena sudah sampai ajalnya, sang ibu pun tutup usia meninggalkan
seorang suami, dan empat orang anaknya.
Sehari
setelah ibunya dimakamkan, ayahnya (Bront Palarae) harus pergi ke kota
untuk segera mengurus proses penjualan
rumah yang sekarang mereka tempati. Meski dengan berat hati, keempat anaknya
itu pun setuju jika ayahnya harus pergi ke kota selama beberapa hari. Keluarga
ini hidup di sebuah rumah terpencil di pelosok kampung. Selama ayahnya pergi,
sebagai anak sulung Rini lah (Tara Basro) yang menjadi penanggung jawab
terhadap ketiga adiknya, Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (M.
Adhiyat).
Sehari
setelah ayahnya pergi, teror demi teror arwah sang ibu pun mulai menghantui
keempat kakak beradik ini. Hari demi hari mereka terus diganggu, bahkan nenek
mereka pun ikut tewas akibat teror ini. Rini yang pada mulanya sama sekali
tidak percaya dengan hal-hal yang berbau takhayul akhirnya mulai membuka diri
dan mencari tau apa sebenarnya yang tengah menganggu mereka.
Alur
cerita film ini sangat menarik. Jalan ceritanya juga jelas. Gaya bahasa para
tokohnya pun memang menunjukkan skrip film ini tidak digarap secara
sembarangan. Dialog dan skenarionya tidak kampungan dan tidak absurd, rasanya
seperti mendengarkan dialog-dialog di film berkelas, Dialog-dialognya pun mampu
menunjukkan karakter masing-masing tokoh.
Untuk
tata artistik di film ini juga tak kalah hebat. Setting tempat dan waktu memang
sengaja disesuaikan dengan tahun 1980 an. Hal itu terlihat dari pakaian dan
properti yang digunakan detail sudah dipersiapkan. Joko Anwar di beberapa scene
terlihat sengaja memberikan fokus shoot kepada properti jadul seperti baskom
jadul, mainan jadul, dan beberapa lainnya, yah itung-itung nostalgia.
Rumahnya
pun ditampilkan dengan rumah sederhana yang masih memakai sumur dengan properti
seadanya. Tapi justru rumah inilah yang menjadi salah satu daya pancar
kehororan di film ini. Bahkan bisa dibilang rumahnya cukup ikonik.
Melihat
film ini aku jadi teringat akan suasana horor di film The Conjuring. Joko Anwar
berhasi membuat suasana mencekam sebuah keluarga sama seperti suasana di film
The Conjuring. Suasana horor itu
terlihat dari cara ia memberikan pewarnaan pada film ini dan setting tempat
yang juga mendukung.
Horor
mainstream ala jump scare yang banyak memberikan kejutan dengan sound yang
nyaring tidak dilakukan oleh Joko Anwar. Karena ia tau pola macam itu sudah
kurang menarik lagi jadi bahan film horor masa kini, apalagi jika dilakukan
dengan intensitas yang banyak. Sebagai gantinya Joko Anwar lebih banyak bermain
kepada instumen-instrumen lain yang dapat dijadikan sebagai unsur pembangun
kesan horor. Tapi kesan itu nantinya
akan jadi suatu hal yang melekat di benak banyak orang. Beberapa instrumen yang
dipakai diantaranya adalah bunyi lonceng, lagu si ibu waktu masih jadi artis
dulu, yang nadanya saja sudah cukup bikin merinding, lalu kursi roda, rumah
kayu yang berderit dan lainnya. Instrumen itupun membuat banyak penonton merasa
ngeri.
Asyik
bermain di titik itu tidak membuat Joko Anwar lupa dengan penggambaran sosok
hantu sang ibu. Meski hantunya tak sering muncul, tapi sosoknya digambarkan
secara ngeri dan mudah diingat. Hasilnya luar biasa, hantu dengan senyum
seringai sang ibu dan memakai baju putih pun sukses membuat takut para penonton
bioskop. Sama nasibnya seperti Valak di film The conjuring 3, hantu sang ibu
pun cepat menjadi viral dan dijadikan bahan meme oleh netizen. Meskipun
mencekam, sang sutradara tetap memasukkan beberapa unsur humor ke dalam film
ini. Tapi dengan porsi yang sewajarnya.
Akting para pemainnya yah sudah jangan
diragukan lagi. Meskipun pemainnya bukanlah orang-orang yang sering wara wiri
di layar bioskop. Tapi Joko Anwar mampu membuat artisnya mampu mengeksplore
akting dengan baik. Hasilnya terlhat natural, apalagi akting M. Adhiyat yang
memerankan si adik bungsu Ian yang bisu terlihat polos dan menggemaskan.
Bukan
Joko Anwar namanya jika membuat film dengan alur cerita dan ending yang biasa
saja. Setidaknya jalan cerita film ini tak bisa ditebak, dan endingnya pun
menghadirkan tanya di benak penonton. Meskipun banyak yang kesal dengan
endingnya yang menyiratkan sesuatu, tapi ya begitulah Joko Anwar.
Well
overall film ini sangat recommended sekali untuk pecinta film horor. film ini
menunjukkan bahwa film horor Indonesia sudah mulai menunjukkan peningkatan dari
segi kualitas.
Beberapa
bulan terakhir ini film horor Indonesia mulai mendapat tempat di hati penikmat
Film Indonesia. Makin kesini horor vulgar mulai ditinggalkan, pola alur film
dan tekniknya pun sudah mulai berkembang dan tidak monoton. Terakhir aku
menonton film horor Indonesia Danur sudah menunjukkan perkembangan yang positif
bagi perfilman tanah air.