Zaman dulu orang yang bergelar sarjana
jumlahnya sedikit. Hanya beberapa orang saja yang mampu kuliah dan
menyelesaikan sekolah tinggi. Itulah sebabnya kenapa orang-orang zaman dulu jika
sudah lulus sarjana dan meraih gelar pasti sangat membanggakan sekali. Tidak hanya
membanggakan keluarga, tetapi juga membanggakan orang-orang sekitar dan
orang-orang yang mengenalnya.
Entah apa alasan dibalik itu semua karena aku
tidak hidup di masa itu. Tetapi yang jelas, meraih sarjana kala itu katanya
rada-rada sulit. Sulit dari segi biaya dan juga dari segi prosesnya. Makanya jumlah
sarjana dulu hanya sedikit. Tetapi meski kuantitasnya sedikit, kualitas sarjana
dulu jangan ditanya. Selepas wisuda,
mereka menajadi orang yang siap kerja dan siap pakai.
Sekarang setelah setengah abad lebih merdeka,
tingkat partisipasi perguruan tinggi di Indonesia semakin baik dan meningkat. Itu
artinya semakin banyak jumlah mahasiswa yang kuliah dan semakin meningkat pula
jumlah sarjana kita yang dicetak oleh Perguruan tinggi. Tentu saja itu adalah
pertanda baik bagi pendidikan kita.
Hanya saja akan selalu muncul pertanyaan. Apakah
peningkatan kuantitas ini dibarengi juga dengan peningkatan kualitas. Tampaknya
sekarang orang-orang sudah cenderung menganggap sarjana adalah hal yang biasa
saja. Tidak lagi seheboh dan sebangga dulu jika ada orang yang telah berhasil wisuda.
Memang tetap ada kebanggan dihati segenap keluarga jika ada yang wisuda, hanya
saja euforianya tidak sedahsyat dulu. Terutama bagi mereka yang berada di
perkotaan.
Hal ini menjadi wajar, ketika kita lihat
setelah para mahasiswa resmi menjadi Sarjana. Banyak yang luntang lantung
karena tidak adanya lapangan pekerjaan. Lihat saja di data statistik berapa
banyak jumlah pengangguran terdidik negeri ini. Jumlahnya semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Akhirnya menjadi sarjana saat ini bukan lagi menjadi sebuah
kebanggaan yang teramat spesial. Apalagi jika ijazah dan gelar tak pernah
terpakai di dunia kerja.
Entah apa yang salah, hanya saja tentu proses
belajar mahasiswa selama di perguruan tinggi juga menjadi salah satu faktor. Patut
disyukuri jika tingkat kemampuan masyarakat untuk masuk perguruan tinggi
sekarang ini semakin meningkat. Hanya saja apakah peningkatan itu sebanding
dengan kualitas sarjana.
Tingkat motivasi setiap orang tentu saja
berbeda-beda. Ada yang menjalani kuliah dengan bersungguh-sungguh, ada yang biasa saja, dan ada pula yang ala kadarnya. Orang-orang dengan
tingkat motivasi yang berbeda ini maka akan menghasilkan idealisme, mental dan
kapasitas yang berbeda pula.
Makanya jangan heran jika ada saja mahasiswa
yang lebih cenderung menghargai hasil ketimbang proses. Apapun dilakukan asal
nilai bagus, meskipun harus mengeluarkan biaya berlebih. Proses belajar dan
menikmati pencarian ilmu tidak begitu dipedulikan. Tak jadi soal tidak memahami
bidang ilmu yang digeluti, yang penting lulus.
Sering dulu kutemui waktu kuliah ada yang
ketika disuruh mengemukakan pendapat malah diam tak bersuara. Dipaksa seperti
apapun tetap diam juga. Kalaupun terpaksa jawabnya pun seadanya. Ada pula
mahasiswa akhir yang sampai tidak mengerti sama sekali tentang bidang ilmu yang
tengah ia geluti bahkan sampai ia lulus. Menyandang predikat mahasiswa tentu
beban mental dan sosialnya berbeda dengan siswa sekolah. Sebutannya juga “Maha”,
tentu harus ada tanggung jawab disitu.
. Tak cuma itu, proses penggarapan skripsi
misalnya. Sudah jangan ditanya lagi, ini adalah hal yang paling bikin greget
selama kita kuliah. Skripsi dicorat-coret, revisi sana sini, cari bahan ini
itu, nugguin dosen, pokoknya sudah jadi makanan wajib mahasiswa tingkat akhir. Proses
yang banyak menguras tenaga dan pikiran ini sayangnya ingin dilewati dengan
jalan pintas oleh beberapa mahasiswa yang tidak mau ambil pusing.
Akhirnya karena tidak mau repot dengan urusan
skripsi, uang pun jadi senjata andalan. Entah dengan menyogok dosen, memakai
jasa pembuatan skripsi dan apapun itu asalkan ia tidak perlu pusing membuat
skripsi. Maunya terima beres, terima bersih, yang dia tau hanya urusan wisuda. Parahnya
hal ini juga didukung oleh orang tua beberapa
mahasiswa macam ini. Bahkan terkadang orang tua juga yang menawarkan anaknya untuk
menjadikan uang sebagai alat negosiasi.
Apa yang bisa dibanggakan jika menyelesaikan
kuliah dengan cara seperti ini. Sama saja artinya tidak menghargai ilmu, dan
sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap gelar yang didapat. Ada pepatah
bilang hasil tidak pernah mengkhianati proses. Jadi jika proses yang dilalui
instan dan ala kadarnya tentu hasil yang didapat ya juga karbitan.
Alhasil akan kita dapatkan seorang profesor,
doktor, magister, dan sarjana yang gelarnya hanya sekedar tempelan. Ketika ditanya
pendapat tentang hal yang ia pernah geluti, atau ditanya tentang berita yang
lagi up to date. Jawabannya tidak tahu.
Seorang yang menyandang gelar akademik tentu
tingkat analitis dan pemahamannya relatif sedikit lebih baik daripada mereka
yang tidak masuk perguruan tinggi. Meskipun banyak juga orang yang cerdas dan
pintar kendati ia hanya lulusan SMA. Tapi seorang yang bergelar setidaknya dituntut
mampu mengamati realitas yang ada dan menganalisis sesuai dengan bidang ilmunya
serta memecahkan masalah. Karena ia sudah banyak membaca dan menganalisa.
Sejatinya mahasiswa itu adalah orang yang
rajin membaca. Jadi adalah hal aneh jika seorang mahasiswa tapi tidak rajin
membaca, jangan salah jika akhirnya ketidaktahuan akan merajalela. Membaca
adalah makananya mahasiswa. Tentu ketika sudah menjadi sarjana dan masuk ke
dunia kerja, membaca akan menjadi sebuah kebiasaan.
Entah siapa yang salah sistemnya kah atau
mahasiswanya kah. Tapi menurut pendapat pribadiku, mau sebagus apapun tempat
kuliahnya kalau mahasiswanya tidak memiliki motivasi dan semangat belajar yang
tinggi ya sama saja. intinya sih mahasiwa itu asal rajin baca saja. Maka dengan
itu ia akan menjelma menjadi orang yang idealis dan punya pandangan dan
perspektif sendiri.
Jangan anggap enteng gelar yang kita sandang.
Gelar akademik yang ada di depan dan belakang nama kita punya arti yang besar. Gelar
akademik menandakan bahwa kita sudah “ahli” di bidang ilmu yang kita pelajari. Tidak
kah kita merasa terbebani, ketika dianggap sarjana, master ataupun doktor tapi
kita merasa tidak tahu apa-apa.
Maka setidaknya bagi semua penyandang gelar
akademik harus memahami beban itu. Jadi mau tidak mau harus bertanggung jawab
terhadap gelar itu. Bagi mahasiswa yang kelak akan wisuda jangan pernah abaikan
proses kuliah. Nikmati semua proses di perguruan tinggi. Karena tidak ada
sukses yang diraih secara instan. Klise memang, tapi faktanya memang demikian.