Sebenarnya ini adalah tulisan lama yang belum sempat aku posting. Tulisan ini adalah catatan pengalamanku tentang Kota Muara Teweh pada tahun 2019 yang lalu. Mungkin saat ini sudah terjadi perubahan yang signifikan di Kota itu. Apalagi sejak itu hingga kini aku belum memiliki kesempatan lagi berkunjung ke Muara Teweh. Mungkin saja penampilan foto ibukota Barito Utara yang ku posting disini sekarang sudah tidak relevan lagi karena banyak perubahan.
Muara Teweh adalah salah satu ibukota
Kabupaten di Kalimantan Tengah yang sangat ingin ku kunjungi. Apalagi Muara
Teweh merupakan Ibukota Barito Utara salah satu Kabupaten yang tertua di
Kalimantan Tengah selain Kapuas, Barsel, Kotawaringin Barat, dan Kotawaringin
Timur. Kabupaten tertua lainnya sudah pernah aku kunjungi, nah hanya Muara
Teweh ini saja yang belum. Alhamdulillah pada bulan Februari 2019 yang lalu aku
berkesempatan berkunjung ke kota ini dalam rangka urusan dinas bersama seorang
rekan kerja.
Kami berangkat melalui jalan darat dengan
jarak tempuh dari Kota Palangka Raya sekitar 313 Km. Jarak yang lumayan jauh
dengan waktu tempuh sekitar hampir 7 jam perjalanan jika tanpa kendala dan
perhentian. Waktu itu kami berangkat pukul 09.00 dan tiba pada pukul 18.00. Hal
itu lantaran selama perjalanan banyak kendala teknis dan perhentian yang
membuat perjalanan kami menjadi lebih lama. Maklum karena keberangkatan kami
menggunakan jasa transportasi travel dengan mobil mini bus berkapasitas 7
penumpang. Tarif travel dari Palangka Raya ke Muara Teweh dan sebaliknya
sekitar 200-250 ribu per orang.
Kalau perjalanan dari Palangka Raya hingga
Kecamatan Ampah (Wilayah Kabupaten Barito Timur) kondisi geografis jalannya
cenderung datar dan tidak terlalu banyak “tantangan”. Barulah setelah
meninggalkan daerah Ampah dan mulai masuk menuju ke wilayah Kabupaten Barito
Utara struktur dan medan jalan perlahan mulai berubah dari awalnya landai dan
datar menjadi jalan yang berbukit-bukit.
Kondisi wilayah Barito Utara yang sebagian
besar berada di perbukitan membuat jalan yang menuju ke Muara Teweh jadi agak
ekstrem kalau menurutku. Hal ini terlihat dari banyaknya jalan naik dan turun
juga berkelok di sepanjang jalan wilayah ini. Medan yang hampir mirip bila kita
berangkat dari Palangka Raya menuju Kuala Kurun Kabupaten Gunung Mas. Hanya
saja menurutku kondisi jalan ke Muara Teweh lebih menguji nyali. Ini adalah jalan lintasan yang
ekstrem yang pernah aku temui. Bahkan ketika pulang menuju Palangka Raya dengan
supir yang sama kepalaku agak sedikit puyeng alias gejala mabuk darat. Namun
untungnya kondisi dalam tubuhku cepat kembali normal dan pusing itu pun mulai
tak ada lagi. Seumur hidup baru kali ini aku merasakan pusing ketika bepergian ketika
naik mobil meskipun hanya selintas saja pusingnya. Namun itu sudah cukup
menggambarkan betapa menantangnya jalan lintas ke Barito Utara ini.
Bayangkan saja lintasan jalannya pada
umumnya membelah perbukitan, ketika jalan turunan langsung bertemu tikungan
tajam, ada pula jalan tanjakan yang juga langsung tikungan tajam, kondisi
tersebut ditambah lagi dengan badan jalan yang relatif masih sempit dan
berselisihan dengan banyak kendaraan besar semacam truk dan tronton. Belum lagi
kalau ditambah kondisi jalan yang hujan. Kalau tak punya keahlian berkendaraan
yang mumpuni ditambah dengan kendaraan yang tak kuat melawan medan mungkin akan
oleng. Apalagi banyak jurang disepanjang kiri dan kanan. Suatu medan perjalanan
yang sungguh menguji adrenalin. Untungnya supir yang kami tumpangi kendaraannya
ini termasuk dalam golongan orang yang pro melalui medan seperti ini. Karena si
supir sendiri merupakan orang lokal yang sudah sering malang melintang melalui
jalur tersebut untuk mengantar penumpang.
Lintas Palangka Raya Muara Teweh pada
umumnya lingkungan di sepanjang jalan biasa saja, tahu sendiri lah kondisi
geografis Kalimantan Tengah yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang
sedikit membuat pemandangan kiri dan jalan jalan di dominasi oleh hutan-hutan
dan beberapa kampung. Namun demi mengenal medan dan melihat secara langsung
kondisi lapangan aku enggan untuk tidur lagi ketika perjalanan sudah memasuki
wilayah Barito Utara. Setidaknya lintas Ampah-Muara Teweh kami beberapa kali
melewati ibukota kecamatan yang mana memiliki kepadatan dan keramaian yang
lumayan tinggi, seperti di desa Patas, Kandui, Tapen dan Hajak.
Ketika memasuki wilayah kota Muara Teweh
atau tepatnya wilayah yang menjadi kawasan selamat datang dibuat semacam taman
dan ornament yang menarik di median jalan. Pada saat kami sampai disana hari
sudah senja, jadi kondisi agak gelap. Nah
meskipun gelap ornamen di median jalan yang dimaksud tadi terlihat indah
dengan lampu yang membuatnya tampak artistik.
Memasuki wilayah dalam kota nya pun Muara
Teweh pun terlihat sangat indah dengan banyaknya lampu-lampu hias yang dipasang
di beberapa titik sehingga membuat ibukota Barito Utara itu terlihat ramai dan
semarak. Lampu-lampu itu ada yang dipasang di papan nama jembatan, di jembatan
penyebarangan, di bundaran dan di pinggir jalan utama. Apalagi di kawasan
kuliner dekat bundaran buah disini lampu banyak menghiasi di beberapa titik.
Kamipun memilih menginap di sebuah hotel
di yang didepannya adalah sungai Barito Water Front City. Kawasan tempat kami
menginap adalah kawasan yang padat dan ramai. Disitu juga ada pasar, pelabuhan
dan aktivitas ekonomi lainnya. Suasana
yang lazimnya terjadi pada kota yang dilalui oleh Sungai. Sehingga tidak sulit
bagi kami untuk mencari makan dan keperluan lainnya.
Water front city adalah salah satu tempat
wisata yang ada di Muara Teweh. Hanya saja tempatnya masih terlihat sepi dari
aktivitas berkumpul masyarakat. Terlihat hanya warga sekitar dan pedagang saja
yang memanfaatkan Waterfront city ini untuk bersantai. Jarang ada masyarakat
yang datang dari jauh dengan menggunakan motor untuk bersantai. Memang kalau
dilihat posisi Waterfront City ini tepat bersebarangan
dengan pasar dan aktivitas perdagangan lainnya.
Selain waterfront City, masih di satu
tempat juga tengah dibangun proyek jembatan yang dinamakan jembatan Hasan Basri
2. Jembatan ini masih on progress belum tersambung tengahnya. Jembatan Hasan
Basri 2 rencananya dibangun untuk menghubungkan kota dengan wilayah seberang. Pemkab
Barito Utara tampaknya ingin memekarkan wilayahnya ke kawasan seberang. Bahkan
di seberang sudah dibangun Masjid Agung. Mungkin karena adanya proyek ini
makanya waterfront city jadi terlihat sepi.
Ada pemandangan yang menarik ketika kita
bersantai di Waterfront City, yaitu kita bisa melihat rumah lanting
berwarna-warni yang mengapung di atas sungai Barito. Sebuah kebijakan yang
menurutku sangat tepat untuk membuat tampilan dan wajah Waterfront City jadi
lebih elok lagi.
Daerah pinggiran sungai termasuk wilayah
yang ramai dengan berbagai macam aktivitas. Pelabuhan sungai disini peran dan
fungsinya masih sangat vital hal itu terlihat dari masih banyaknya warga yang
menggunakan jasa transportasi angkutan sungai berupa kelotok atau speedboat
untuk bepergian. Umumnya tujuan angkutan sungai ini adalah ke wilayah desa yang
dilalui oleh Sungai Barito hingga sampai ke Wilayah Puruk Cahu Kabupaten Murung
Raya.
Besok harinya setelah kami selesai
berurusan di salah satu instansi Pemerintah Kabupaten Barito Utara, kamipun
pulang ke hotel. Nah setelah mengganti
pakaian Dinas, kami pun berencana untuk mencari makan dan sekaligus berkeliling
kota Muara Teweh. Jika pada saat berurusan tadi kami menyewa sepeda motor milik tukang ojek di sekitar
pelabuhan dengan Tarif Rp.25.000 per jam. Nah kali ini kami ingin menjajal
keliling kota dengan berjalan kaki. Bayangkan saja berjalan kaki di siang
bolong. Berbekal google map kami pun mulai bertualang.
Menurut pengamatanku Muara Teweh termasuk
ke dalam golongan kota dengan tingkat kepadatan dan keramaian yang relatif
sedang. Untuk tata kota ia bisa disejajarkan dengan kota-kota “senior” yang ada
di Kalimantan Tengah seperti Kapuas, Sampit, dan Pangkalan Bun. Padahal menurut
data BPS per Mei 2018 jumlah penduduk Kabupaten Barito Utara adalah sekitar
129.287 jiwa. Jumlah yang masih sedikit relatif.
Tapi meskipun jumlah penduduk masih agak
jarang, namun untuk urusan tata kota bisa dibilang Muara Teweh masih tergolong
rapi. Pemerintah Daerah setempat pandai memoles wajah kota sedemkian rupa
sehingga menarik dipandang.
Topografi dalam kota Muara Teweh cenderung
berbukit sehingga membuat jalan-jalan dibuat menanjak dan menurun seperti
jalanan yang ada di Kota Kuala Kurun. Dan bahkan dibeberapa sudut jalan dan
kotanya yang naik dan turun ada bagian yang mirip dengan salah satu titik di
kota Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat.
Pemkab Barito Utara pandai sekali dalam
menata wajah kota dan jalannya. Hampir disetiap median jalan utama rumputnya
dipangkas rapi dan dibentuk susunan yang artistik. Tak cuma median, trotoar dan
tempat pejalan kaki di samping jalan pun juga bersih dengan diberi cat yang
tampaknya dilakukan secara berkala oleh pemerintah setempat. Kondisi jalan
dalam kota muara teweh hampir semuanya dalam keadaan mulus dan bersih. Apalagi
kalau malam hari jalanan terlihat bagus dengan banyaknya lampu jalan yang
berpendar berwarna warni. Pokoknya kota ini kalau urusan jalan terlihat rapi
dan bagus. Meskipun proyeksi untuk pelebaran jalan seperti di Palangka Raya sudah
tak dapat dilakukan lagi, tapi untuk urusan tata kota Muara Teweh adalah kota
terbaik Kalteng di DAS Barito.
Di Muara Teweh ada sebuah Monumen pahlawan
besar asal Barito Utara, yakni Panglima Batur. Monumen ini diresmikan pada
tahun 2010 oleh Kepala Staff TNI-AD, Jendral George Toisutta. Panglima Batur
adalah pahlawan asal Barito Utara yang sudah berjuang melawan penjajah Belanda
pada tahun 1905 di bumi yang berjuluk Iya Mulik Bengkang Turan ini. Patung
Panglima Batur tampak gagah dengan pose berdiri sambil menghunuskan Mandau. Di
belakang monumen ini ada air mancur yang tampak seperti sebuah bukit besar yang
artistik. Apabila malam hari monumen dan air mancur ini terlihat indah dengan
dilengkapi lampu berwarna warni. Kebetulan letak monument ini berada dekat
dengan bundaran air mancur yang juga dilengkapi lampu penuh warna.
Tidak jauh dari monumen dan bundaran air
mancur tersebut, masih di satu kawasan berdiri dengan megah rumah jabatan
Bupati Barito Utara. Rujab ini mengadopsi gaya eropa dengan pilar-pilar besar
nan megah sebagai penyangga. Rujab ini lebih terlihat seperti istana. Bahkan
kalau boleh dibandingkan, rumah jabatan Gubernur Kalteng saja kalah megah
dengan rujab Bupati Barito Utara ini.
Di Muara Teweh ada bundaran yang cukup
ikonik dan dapat menjadi landmark Kota Muara Teweh, yaitu Bundaran Buah. Bundaran
ini tidak begitu jauh sekitar 500 meter dari rumah jabatan bupati. Letak
bundaran ini dekat dengan taman, pujasera dan Stadion. Rasanya inilah bundaran
yang paling memiliki ciri khas di kota ini. Sehingga rasanya kurang lengkap
jika berkunjung ke Muara Teweh jika tidak berfoto berlatar belakang bundaran
ini.
Kamipun makan di pusat kuliner yang
letaknya hanya beberapa meter dari Bundaran Buah itu, dan jaraknya pun juga
tepat diseberang Stadion. Untuk harga makanan sih kurang lebih sama dengan
harga makanan di Palangka Raya. Itu untuk harga di pusat kuliner kayak semacam
café gitu. Lokasi yang harganya berkisar 20 ribuan ke atas per porsinya. Kalau
di warung biasa di daerah pasar relatif murah dengan harga dibawah 20 ribu.
Selesai makan kamipun jalan-jalan melihat
stadion yang pada saat itu hari sudah mulai sore. Suasana stadion ramai dengan
orang yang lari sore di jogging track. Selain itu ada pula tim sepak bola yang
tengah berlatih. Hal yang menarik perhatianku selain taman di sekitar stadion
adalah kualitas rumput stadion yang tampaknya tebal dan rapi, seperti rumput di
stadion internasional. Info yang kudapat memang rumput yang dipakai oleh
Stadion yang bernama Swakarya ini adalah rumput Zoysia Matrella, rumput standar
internasional. Kualitas rumput stadion yang sangat berkelas sekali untuk
tingkat Kabupaten meskipun tribunnya hanya 1 saja. Bahkan saat itu bulan
februari 2019 Stadion Tuah Pahoe markas tim sepak bola Liga 1 Kalteng
Putra, di Palangka Raya belum memiliki
rumput seperti itu. Selain taman yang ditata dengan indah dan rapi, di sekitar
stadion juga ada lapangan basket, rumah betang dan kantor Satpol PP dan Damkar
Kabupaten Barito Utara.
Aktifitas masyarakat Muara Teweh utamanya
anak mudah lumayan tinggi kala sore hari. Ada yang berolahraga, bersantai,
jalan-jalan dan berbagai macam aktifitas lainnya. Namun hanya sayang sekali Muara
Teweh masih belum memiliki Mall. Minimal dibangun mall ukuran sedang seperti
Citimall yang sudah hadir di Sampit, Pangkalan Bun dan Kapuas. Muara Teweh
punya potensi jika dibangun Mall apalagi jika tenan didalamnya ada brand
Hypermart, Matahari dan Cinemaxx. Pandangan ini setidaknya dari pengamatanku di
Muara Teweh melihat pusat keramaian yang
selalu dipenuhi oleh masyarakat.
Pada sore hari kami pun pulang kembali ke
Hotel juga dengan berjalan kaki. Lumayan juga capeknya saat kami berjalan kaki
menuju ke pusat kota dan kembali juga dengan berjalan kaki. Ditambah cuaca yang
sangat terik membuat bulu kuduk berdiri. Setelah istirahat melepas lelah, malam
harinya kami pergi ke pasar blauran yang letaknya hanya bersebelahan dengan
tempat kami menginap. Entah ada pasar blauran yang lain atau tidak selain
disini, karena menurutku pasar blaurannya terlalu pendek dan pedagang yang berjualan
relatif sedikit. Malam hari santai sambil duduk di Water front City juga dapat
menjadi pilihan yang tepat untuk melepas penat di Muara Teweh.
Ada satu tempat wisata yang tak sempat
kami kunjungi di Muara Teweh, padahal jaraknya dari pusat kota hanya sekitar 18
KM. tempat wisata itu adalah air terjun. Air Terjun Jantur Doyan namanya. Namun
sayang, kami baru mengetahui di hari kedua pas sudah malam hari. Sedangkan hari
ketiga pada pagi harinya kami sudah pulang kembali ke Palangka Raya. Supir
travel yang akan menjemput kami sempat menawarkan diri untuk mengantar kami ke
objek wisata dimaksud. Namun takut malah kelamaan, akhirnya niat itu kami
urungkan. Kapan-kapan sajalah kami pikir.
Pagi itu sebelum pulang, kami mampir di
sebuah toko oleh-oleh yang masih satu kawasan dengan tempat kami menginap.
Disitu banyak dijual makanan dan oleh-oleh khas Muara Teweh. Salah satunya yang
sangat terkenal dari barito adalah lampok durian. Cemilan yang menyerupai dodol
tapi mempunyai cita rasa durian yang sangat kuat. Harganya pun relatif tinggi
untuk ukuran setengah kg sekitar Rp. 50.000. Namun cemilan ini memang pantas
mahal, karena rasa duriannya sangat kuat, dan kata sang penjual lampok ini
dibuat dengan komposisi durian yang hampir 75%. Rasanya memang enak, seperti dodol
tapi lebih nikmat lagi karena rasa durian.
Tak lama kemudian mobil jemputan pun
datang, kami bergegas cek out dari hotel untuk kemudian melakukan perjalanan
menuju Palangka Raya. Entah kapan aku bisa kembali lagi ke Muara Teweh.
Harapannya sih ketika aku kembali lagi ke kota ini, beberapa proyek yang tengah
berjalan waktu itu sudah selesai. Apalagi saat tulisan ini kubuat, Kalimantan
Timur telah dipilih oleh presiden sebagai lokasi ibukota baru Indonesia. Letak
geografis Barito Utara yang berbatasan langsung dengan Kaltim tentu membawa
keuntungan sendiri bagi Muara Teweh. Bukan tidak mungkin kelak Muara Teweh akan
menjelma menjadi salah satu kota besar di wilayah Barito.