Judul
Buku : My Life as Film Director
Penulis : Haqi Ahcmad
Penulis : Haqi Ahcmad
Penerbit
: PlotPoint Publishing (PT.
Bentang Pustaka)
Tahun : 2012
Dengan
berkembangnya teknologi, maka segala hal yang berhubungan dengan dunia digital
pun kian hari kian mudah saja. Akses yang begitu mudah di media sosial,
memberikan berbagai macam kemudahan tentang apa yang ingin kita geluti.
Termasuk menjadi seorang sutradara.
Menjadi
seorang sutradara tampaknya menjadi salah satu peranan yang cukup banyak
digeluti oleh anak muda. Setidaknya Hal ini bisa terlihat dari tingginya
antusiasme anak muda dalam mengikuti festival film yang banyak diselenggarakan.
Selain itu banyaknya film pendek yang di unggah ke media sosial dapat menjadi
sebuah tanda bahwa menjadi sutradara sekarang ini cukup bergengsi.
Benarkah
menjadi sutradara sekarang semudah itu. Kalau secara independent sih iya mudah
sekali. Asal punya kamera aja, sudah bisa buat film, kemudian di edit lalu
unggah ke media sosial untuk di promosikan. Namun jika ingin menjadi sutradara
di industri perfilman nasional memang tidak semudah itu. Ada suatu proses
panjang yang mesti dijalani.
Melalui
buku ini yang ditulis oleh Haqi Achmad yang berjudul My Life as Film Director,
proses-proses itu terlihat cukup masuk akal dan dapat ditempuh dengan mudah
oleh siapa saja. Dalam buku yang membahas tentang kehidupan sutradara ini kita
banyak belajar tentang jalan hidup beberapa sutradara ternama Indonesia dalam
merintis karir dari awal. Beberapa sutradara yang dibahas dalam buku ini
diantaranya adalah : Hanung Bramantyo, Joko Anwar, Ifa Isfansyah, dan Sammaria.
Keempat sutradara itu namanya sudah malang melintang di jagat perfilman
nasional.
Haqi
Achmad dalam buku ini tidak bercerita tentang teknis bagaimana penyutradaraan
sebuah film. Lagipula kalau itu dilakukan oleh Haqi Achmad, justru buku ini
terasa kurang seru. Sebaliknya buku ini lebih menyajikan spirit perjalanan
hidup keempat sutradara ini dalam menapaki karir di industri perfilman mulai
dari nol. My Life as Director Film banyak memberikan suntikan motivasi kepada
para pembaca yang memiliki minat untuk menjadi seorang sutradara. Bahwa segala
hal yang kita tekuni dengan sungguh-sungguh bukan tidak mungkin akan berbuah
kesuksesan.
Menjadi
sutradara tidak mesti harus sekolah film, tidak mesti harus seorang yang
menimba ilmu di institut seni. Joko Anwar dan Sammaria membuktikannya. Joko
Anwar yang merupakan alumnus ITB, sempat menjadi seorang wartawan dan kritikus
film sebelum menjadi seorang sutradara. Lain lagi dengan Sammaria yang
merupakan seorang sarjana teknik yang sempat bekerja sebagai arsitek di
perusahaan singapura. Tapi meskipun bukan berlatar belakang seni dan film,
setidaknya mereka memiliki kegemaran dan passion di bidang film.
Lantas
bagaimana keempat sutradara ini memulai debutnya di perfilman nasional? Joko
Anwar membuka jalan karirnya sebagai sutradara dimulai dari wartawan dan
kritikus film, suatu ketika ia dapat kesempatan mewawancarai penulis skenario
terkenal. Dari sinilah Joko Anwar coba menawarkan skrip Janji Joni yang
kemudian menjadi jalan baginya menjadi sutradara.
Ifa
Isfansyah sebelum menjadi sutradara film layar lebar, namanya sudah tidak asing
di jagat film-film pendek. Sebelumnya ia adalah orang yang sering bikin
film-film pendek. Hingga suatu ketika film pendeknya yang berjudul Mayar
berhasil menarik perhatian publik dan berhasil memenangkan festival film.
Kemudian tawaran untuk menyutradarai film panjang pun berdatangan menghampiri
Ifa.
Sedangkan
Hanung bisa dikatatakan mulus dan mudah saja karirnya. Setelah ia lulus kuliah
di IKJ, ia sudah merintis karir membuat film dan menyutradarai beberapa
sinetron dan FTV. Lain dengan Sammaria
yang lamarannya untuk bekerja beberapa kali di tolak oleh Production House.
Hingga akhirnya ia nekat membuat film sendiri. Siapa sangka film pertamanya pun
sukses dan mendapat penghargaan sebagai skenario terbaik. Dari sinilah jalannya
mulai terbuka sebagai Sutradara di perfilman tanah air.
Jika
dilihat dari perjalanan keempat sutradara itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa
segala hal yang ingin kita capai, dapat terwujud jika kita bersungguh-sungguh.
Jika kita fokus dan benar-benar menyukai hal-hal yang berbau film. Bukan tidak
mungkin kita akan bisa seperti keempat sutradara itu. Lihat saja jalan hidup sutradara-sutradara itu
seperti dipenuhi keberuntungan karena kekuatan fokus dalam diri mereka.
Sebagian besar jalannya dimudahkan. Ada yang baru bikin film pertama langsung
goal, ada yang sudah merintis karir dengan menyutradarai sinetron dan ada pula
yang menjadi wartawan terlebih dahulu.
Ditulis
dengan bahasa yang menarik, mudah dicerna dan enak dibaca, buku ini sangat
recommended dan wajib dibaca bagi siapapun yang ingin jadi sutradara. Meskipun
bukan buku yang bercerita tentang teknis penyutradaan, tapi setidaknya buku ini
bermuatan nilai yang “provokatif” dan ingin menyampaikan bahwa siapa saja bisa
menjadi sutradara. Dengan halaman yang full color, tata letak yang dan huruf yang bagus, membaca buku ini jadi
lebih menyenangkan.
Akhir
kata, saya kutipkan pernyataan dari Ifa Isfansyah :
“Satu-satunya cara agar bisa menjadi sutradara adalah dengan membuat
film. Enggak ada cara lain hanya membuat film. Jadi kalo mau jadi sutradara
bikinlah film”