Ilustrasi |
Beberapa hari yang lalu, di dekat tempat tinggal kami terjadi musibah
kebakaran yang menghanguskan 4 buah barak pegawai sebuah instansi. Kebakaran
tersebut diakibatkan oleh lalainya penghuni dalam meletakkan lilin saat
pemadaman bergilir. Tanpa bermaksud untuk menganggap sepele, meskipun kerugian
yang diderita korban tidak sedikit, tapi kebakaran ini masih tergolong dalam
skala yang kecil. Hal ini setidaknya berdasarkan jumlah bangunan yang terbakar.
Namun meski demikian, musibah kebakaran ini malah banyak menarik
perhatian para pengguna jalan waktu itu. Orang-orang yang kebetulan lewat di
sekitar areal kebakaran, mereka yang mau
pergi jalan , mau pergi ke suatu tempat, rela menunda sejenak tujuannya demi melihat
api membakar rumah-rumah itu. Hal itu terlihat dari penampilan mereka yang
memang bukan orang sekitar situ, dengan pakaian yang rapi dan mengendarai
sepeda motor lengkap dengan helmnya.
Sungguh aneh, sebenarnya apa niat mereka menonton rumah orang sedang
terbakar. Tidaklah lucu, musibah kebakaran ini dijadikan sebagai tontonan. Iya
jika yang menonton turut membantu dan melakukan sesuatu. Ini malah sebaliknya ,
sudah membuat jalanan padat, macet, mereka juga malah menghalangi petugas
pemadam dan para korban dalam mengevakuasi barang-barangnya.
Hal ini mengingatkanku akan musibah kebakaran yang terjadi belasan tahun
lalu ketika aku masih kecil. Saat itu salah satu pemukiman padat penduduk di
kota Palangka Raya sedang terbakar hebat dari siang sampai malam hari.
Kebakaran itu juga malah jadi tontonan masyarakat. Iya jika menontonnya
tidak mengganggu siapapun. Tapi yang terjadi kerumunan “penonton” ini malah
mengganggu ruang gerak para korban dalam mengevakuasi barang-barangnya. Belum
lagi kesulitan para petugas pemadam kebakaran menuju ke TKP akibat ramainya
kendaraan yang parkir sembarangan hingga memenuhi jalan.
Tidak jauh dari areal kebakaran berjejer motor-motor diparkir. Para
pengendara yang kebetulan lewat banyak berdatangan ke tempat itu. Sehingga
jalanan pun menjadi sesak dan ruang gerak jadi terbatas. Mendadak kawasan
tersebut jadi ramai, padahal daerah tempat kami itu merupakan wilayah yang
dikenal sepi.
Pemandangan macam ini terjadi hampir di seluruh Indonesia. Kebakaran
seakan menjadi hiburan dan tempat wisata tersendiri bagi beberapa masyarakat
kita. Tidak mengerti apakah mereka ini tidak menyimpan keprihatinan dan empati
akan musibah yang menimpa orang lain.
Tapi
meskipun prihatin, keprihatinan itu rasanya kurang afdol tanpa
menyaksikan kebakaran secara langsung sampai apinya padam. Sungguh
ironis, musibah kebakaran kok dijadikan tontonan layaknya menyaksikan
hiburan
konser jalanan.
Apalagi ada beberapa orang yang dengan antusias berdiri di garis depan
tepat dibatas barikade polisi. Semua ini dilakukan demi menyaksikan pemandangan
langka ini. Padahal mereka hanyalah orang-orang yang lewat bukan warga
disekitar situ. Bukan pula kerabat yang berkepentingan.
Kehadiran mereka ini malah membuat jalan jadi terhambat apalagi parkir
motor yang membuat jalan jadi tambah padat. Padahal kebakaran ini bukanlah
kebakaran yang sangat besar. Tapi massa yang berjubel hampir sama seperti di
pasar.
Sungguh orang-orang yang sulit dimengerti, musibah kok malah jadi tontonan.
Bukannya membantu, tapi malah membuat urusan semakin runyam, menciptakan
kemacetan. Musibah kebakaran tak ubahnya seperti sebuah hiburan dan objek
wisata bagi para pengendara yang lewat. Tidakkah mereka berpikir jika
seandainya rumah mereka yang terbakar dan menjadi tontonan seperti itu juga.
Ya begitulah kita. Seakan hal ini sudah menjadi budaya. Dimana ada
kebakaran, disitu pasti ada kerumunan.