Berdasarkan letak geografis, sebenarnya Kota
Palangka Raya ibukota Kalimantan Tengah dan Pontianak ibukota Kalimantan Barat
terletak di satu pulau, yaitu sama-sama di Kalimantan. Namun karena bentang
pulaunya yang sangat luas menyebabkan jarak kedua ibukota provinsi ini mencapai
sekitar 1000 Km lebih. Keadaan ini membuat Palangka Raya dan Pontianak seolah dua
saudara yang tak saling kenal.
Sebuah perjalanan dinas selama 3 hari pada
akhir Oktober 2018 kemarin akhirnya mengantarkanku untuk kali pertama
berkunjung ke kota Pontianak, Kalimantan Barat. Provinsi tetangga yang
berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Tengah. Jika menempuh jalur darat
akan memakan waktu yang tidak sedikit, bisa sampai 18 jam lebih perjalanan.
Suatu perjalanan yang panjang dan melelahkan pastinya.
Maka dari itu transportasi yang efektif untuk
menghubungkan antara Palangka Raya dan Pontianak adalah melalui jalur udara
dengan pesawat terbang. Sebelum mendarat di bumi garis khatulistiwa,
pesawat terlebih dahulu melintas di atas kota Pontianak tepatnya di sepanjang
garis sungai Kapuas hingga Bandara Supadio. Di atas sini kita bisa melihat
beberapa pemandangan Kota Pontianak yang terlihat cukup padat dari atas langit.
Setelah beberapa menit bermanuver akhirnya
pesawat pun mendarat di Bandara Internasional Supadio. Bandara yang terletak
sekitar 17 Km dari kota Pontianak ini secara administratif berada di wilayah
Kabupatan hasil pemekaran, Kabupaten Kubu Raya. Kalau dilihat interior
bandaranya sudah sangat modern, bersih dan nyaman sama seperti standar bandara
modern di Indonesia yang dikelola oleh Angkasa Pura. Di jalur kedatangan
pengunjung bisa berfoto dengan miniatur tugu khatulistiwa, ikonnya kota
Pontianak di salah satu sudut bandara.
Miniatur
Tugu Khatulistiwa di Bandara Supadio
Setelah cek in hotel di kawasan jalan Gajah
Mada dan dilanjutkan makan siang, kami pun langsung meluncur mencari tempat
untuk bersantai menikmati sore. Pilihan pun jatuh di Alun Kapuas Park karena
tidak jauh dari tempat kami menginap. Alun Kapuas Park ini adalah sebuah taman
yang dibangun ditepi sungai Kapuas. Kalau istilah kerennya sih waterfront city. Melihat lokasi dan
pemandangannya hampir mirip seperti waterfront city di Kota Sampit dengan
sungai Mentaya-nya atau Dermaga Flamboyan-nya Kota Palangka Raya.
Alun Kapuas
Park Pontianak
Di Alun Kapuas Park adalah tempat yang sangat
stabil untuk bersantai sambil memandangi sungai Kapuas, Sungai yang terpanjang
di Indonesia. Bagaimana tidak terpanjang, karena aliran sungainya sampai tembus
ke Kalimantan Tengah. Itulah kenapa di Kalimantan Tengah ada salah satu
kabupaten yang bernama Kabupaten Kuala Kapuas, karena kotanya juga dilalui oleh
sungai ini.
Saat
kami berkunjung ke Alun Kapuas Park, hampir tak ditemukan pedagang kaki lima.
Sebagai gantinya yang ada adalah pedagang kaki lima terapung, hehe. Tak jauh
beda dengan pedagang pasar terapung di Banjarmasin, hanya saja disini
menggunakan kapal yang lebih besar dengan menawarkan beraneka jajanan dan
minuman.
Selain itu ada juga kapal yang menyerupai
kafe terapung. Kapal ini juga merangkap sebagai kapal wisata susur sungai. Kami
pun mencoba menjajal kapal susur sungai ini. Rutenya memang tak jauh hanya
seputaran kota Pontianak saja. Setiap penumpang hanya dipungut biaya 5 ribu
rupiah saja. Tapi kita sudah dapat menikmati beberapa keindahan dan kearifan
lokal tepian sungai Kapuas di Pontianak. Kuperhatikan hampir seluruh tepian
sungai Kapuas ini sudah dibuatkan siring, sehingga kondisinya tak memungkinkan
lagi adanya rumah terapung tradisional (lanting) yang banyak mengapung di tepi
sungai seperti di Palangka Raya.
Melihat pemandangan di kiri dan kanan selama
susur sungai, aku jadi teringat dengan pemandangan susur sungai di Banjarmasin
yang suasananya hampir mirip. Dalam rute tersebut kami pun ada melewati sebuah
masjid berbahan dasar kayu dengan warna cat dominan kuning. Arsitekturnya unik
dan klasik dengan puncak atapnya terlihat menyerupai lonceng. Ketika aku
searching di google, ternyata itu adalah masjid Jami’ Pontianak atau Masjid
Sultan Syarif Abdurrahman. Masjid tertua dan bersejarah di Kota Pontianak.
Katanya masjid ini merupakan salah satu bangunan yang menjadi penanda
berdirinya kota Pontianak pada tahun 1771. Pas kami melintas, saat itu
kebetulan sedang masuk waktu shalat magrib. Tampaknya banyak juga orang-orang
yang shalat di masjid tersebut. Langsung aja muncul keinginan untuk shalat di
masjid tersebut sebelum pulang ke kota asal, sekaligus berfoto dengan masjid
yang berusia ratusan tahun tersebut. Namun apa daya, karena waktu tak sempat,
niat tersebut pun akhirnya tak kesampaian.
Hari kedua kami pun mulai berurusan ke salah
satu kantor pemerintahan Provinsi Kalbar. Hampir sebagian besar kantor-kantor
pemerintahannya masih menggunakan struktur bangunan lama. Hal tersebut terlihat
dari model bangunan, dan interiornya yang tampak tak tersentuh renovasi. Kalau
boleh dibandingkan masih lebih bagus kantor komplek kantor Gubernur Kalteng
dibandingkan Kantor gubernur Kalbar. Dan kalau boleh dibandingkan juga,
bangunan milik swasta di Kota ini lebih mentereng dibandingkan bangungan milik
Pemerintah.
Setelah urusan dinas beres, siangnya kami pun kembali pulang ke hotel untuk makan
siang dan istirahat. Karena besoknya sudah pulang ke kota asal, maka sore itu
kami memutuskan untuk pergi ke tempat pusat penjualan oleh-oleh. Sebagai bekal
untuk dibawa pulang. Sebelum mendarat di Kota Pontianak aku sudah mengincar dan
punya bayangan akan membawa pulang apa nantinya.
Berdasarkan hasil tanya sini
dan tanya situ, maka kami di rekomendasikan belanja di Komplek PSP, pusat
oleh-oleh khas Pontianak yang terletak di Jalan Pattimura. Disini berjejer
kios-kios yang menjual berbagai macam souvenir mulai dari baju adat, aksesoris,
hiasan, miniatur dan lainnya. Pokoknya khas dan unik. Tak Cuma itu disitu juga
dijual beraneka makanan dan cemilan khas Pontianak seperti dodol, manisan dan
lainnya.
Disana aku lebih tertarik untuk membeli
miniatur Tugu Khatulistiwa. Ternyata miniatur dengan ukuran sedang yang kubeli
cukup terjangkau dengan harga 50 ribu. Apalagi desainnya unik dan mewah berada
di dalam kaca. Disana ada pula miniatur yang dijual lebih kecil sekitar 25 ribu.
Kalau miniatur yang lebih besar yang ada
lampunya dengan kisaran harga 100 ribu ke atas. Selain miniatur aku juga
membeli hiasan dinding berbingkai dengan aneka pilihan gambar yang katanya
canvasnya terbuat dari kulit kambing. Selebihnya aku juga membeli oleh-oleh
berupa camilan yang ternyata juga murah meriah dengan harga mulai dari 10 ribu.
Benar-benar pusat oleh-oleh dengan harga yang cukup terjangkau. Setelah puas
berbelanja kamipun balik kanan lagi ke penginapan.
Tempat kami menginap berada di
Jalan Gajah Mada, yang mana sepenglihatanku di jalan ini tampak seperti kawasan
perhotelan. Di sepanjang jalan ini dan sekitarnya banyak berjejer hotel- hotel
mulai dari yang mewah sampai yang hotel biasa saja. Itulah mungkin yang
menyebabkan harga makanan di kawasan ini cukup tinggi kalau menurutku.
Setidaknya untuk satu porsi makanan ala warteg ya minimal 25 ribu.
Pernah waktu aku sarapan pagi
di kawasan jalan Hijaz, masih satu kawasan juga dengan Jalan Gajah Mada. Aku
mencoba memesan makanan nasi kuning. Rupanya nasi kuning di Pontianak berbeda
dengan di Kalteng dan Kalsel. Jika ditempat asalku nasi kuningnya beraneka
pilihan lauk dengan dilumuri bumbu masak merah . Nah kalau di kota khatulistiwa
ini nasi kuningnya tidak pakai bumbu masak merah, dan hanya ayam goreng saja
lauknya dengan ditambah sedikit sayuran. Persis nasi uduk, hanya yang ini
warnanya kuning. hehe. Harganya ya itu tadi agak lumayan lah. Tapi kalau
dipikir lagi ya wajar saja kalau harganya segitu, karena letak warungnya berada
di kawasan perhotelan. Pembelinya pun rata-rata para penghuni hotel di sekitar
situ.
Salah Satu
Potret Jalan Hijaz Kota Pontianak
Tak banyak ruas kota Pontianak
yang ku lewati selama di kota itu. Paling hanya daerah-daerah inti dan kawasan
jalan protokol saja yang dilalui saat menuju ke tempat tujuan. Dapat dikatakan
Pontianak ini adalah salah satu kota besar, dengan jumlah penduduk yang di
kisaran 665 ribuan jiwa. Jauh beda dengan jumlah warga Kota Palangka Raya yang
berkisar di angka 250 ribuan jiwa.
Hal tersebut wajar memang
mengingat Pontianak termasuk salah satu kota tua di Indonesia dengan usia pada
tahun 2018 menginjak 247 tahun. Selain itu Pontianak juga merupakan kota
pelabuhan dan sekaligus kota bisnis. Jadi wajar saja jumlah penduduk dan
kemajuan kotanya cukup berkembang.
Kalau diperhatikan suasana
jalanan dan
kehidupan warga Kota
Pontianak ini agak mirip dengan Kota Banjarmasin. Sibuk dan ramai dengan
aktivitas ekonomi, di kiri dan kanan jalan banyak berdiri bangunan
bertingkat. Di kota ini ada beberapa titik jalan yang kerap dilanda
kemacetan.
Jalanan tak pernah lengang selalu dipenuhi
oleh bermacam kendaraan. Keadaan tersebut juga didukung oleh kondisi jalan
dalam Kota Pontianak yang cukup bagus dan mulus. Bahkan ada salah satu kawasan
yang kulihat mirip sekali dengan kawasan Jalan A. Yani di Banjarmasin. Malah di
beberapa kawasan kota Pontianak yang lain, aku melihat sudut kotanya mirip pula
dengan salah satu sudut kota di Jakarta.
Meski tak semua, banyak
toko-toko milik pengusaha etnis Tionghoa yang menuliskan plang tokonya dengan
huruf mandarin. Disini wajah-wajah oriental tak sulit ditemukan. Pernah salah
satu teman iseng menanyakan kawasan yang banyak kumpulan “amoi-nya” kepada rekan
yang asli Pontianak. Dikatakannya bahwa orang-orang yang berwajah Tionghoa
lebih banyak di Kota Singkawang.
Oh iya orang-orang Pontianak
mayoritas menggunakan bahasa melayu untuk percakapan sehari-hari. Setidaknya
itu yang sering aku dengar. Ya agak mirip sedikit lah dengan bahasa dan
logatnya Upin Ipin. Hehe.
Tampaknya beberapa warga awam
Pontianak banyak yang tidak tau Palangka Raya itu dimana khususnya para supir
dan pedagang. Ketika disebutkan ibukota dari Kalimantan Tengah barulah mereka
ngeh. Bagi mereka tampaknya Palangka Raya semacam kota yang nun jauh disana
padahal cuma tetanggaan. Hehe. Lain halnya dengan Pontianak yang sudah cukup
dikenal oleh warga Palangka Raya yang awam sekalipun yaitu sebagai daerah
penghasil buah langsat dan jeruk dengan rasa khas.
Untuk angkutan umum di Kota
Pontianak memang untuk taksi, angkot dan lainnnya agak jarang terlihat. Dengan
kata lain agak susah juga mencari transportasi di Kota ini. Tapi mengingat
sudah hadirnya ojek online di kota ini seperti Grab dan Gojek membuat urusan transportasi tak lagi hal yang
perlu dirisaukan. Cuma masalahnya ya itu harus punya smartphone jika ingin
memesan angkutan online ini.
Jembatan di Pontianak
Meskipun berstatus sebagai kota
pelabuhan, tapi wilayah geografis kota Pontianak tidak berbatasan langsung
dengan garis pantai. Jadi kalau mencari wisata alam semacam pantai ya mesti ke
Singkawang dulu dengan perjalanan sekitar 2 jam dari kota Pontianak. Sama
seperti Palangka Raya dan Banjarmasin, kota yang tak memiliki pantai.
Tapi meskipun tak memiliki
wisata alam di dalam kotanya, Pontianak masih memiliki banyak tempat wisata
bersejarah dan terkenal hingga ke
mancanegara. Selain masjid dan keraton yang berusia ratusan tahun, Pontianak
juga memiliki tempat wisata unggulan yaitu Tugu Khatulistiwa. Tugu inilah yang
menjadi ikon kota Pontianak. Tugu Khatulistiwa ini pulalah yang menjadi
“jualan” utama pariwisata Kalbar baik nasional maupun internasional.
Tugu Khatulistiwa terletak
sekitar 10 Km dari pusat kota Pontianak. Tugu yang dibangun pada tahun 1928
tersebut adalah titik nol bumi yang peris dilalui oleh garis ekuator. Di titik
inilah ada garis khatulistiwa yang memisahkan antara belahan bumi utara dan
belahan bumi selatan. Di titik ini pula
setiap tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September matahari tepat berada di atas
garis khatulistiwa yang menyebabkan bayangan benda tak terlihat selama beberapa
detik. Fenomena yang dinamakan Kulminasi Matahari.
Memang di dunia ini ada 12
negara yang dilintasi oleh garis khatulistiwa. Di Indonesia pun ada beberapa
titik wilayah yang dilintasi oleh garis ini. Bedanya titik tersebut tak tepat
berada di pusat kota. Nah kalau di Pontianak, garis khatulistiwa tepat membelah
di kota ini sehingga dekat kalau dikunjungi. Kondisi tersebut ditambah lagi
dengan perayaan yang selalu dilakukan setiap kulminasi matahari. Itulah yang
membuat Kota Pontianak ini istimewa. Itu pula sebabnya banyak wisatawan
mancanegara yang datang berkunjung saat titik kulminasi matahari.
Sebenarnya titik khatulistiwa
yang ada tugunya bukanlah titik khatulistiwa yang tepat. Pada tahun 2005
dilakukan koreksi oleh tim ahli. Hasilnya, titik nol garis khatulistiwa yang
sebenarnya berada 117 meter ke arah sungai Kapuas dari tugu Khatulistiwa. Tak
jauh dari titik semula. Akhirnya dibangun lagi patok dari pipa untuk menandakan
titik Khatulistiwa yang baru.
Saat itu adalah hari terakhir
kami di Pontianak, kebetulan pesawat baru akan akan berangkat pada siang hari.
Pagi itu rekan-rekanku tak ada yang mau diajak jalan-jalan lagi. Padahal aku
belum berkunjung ke Tugu Khatulistiwa. Rasanya ada yang kurang kalau berkunjung
ke suatu kota tapi tak mampir ke landmarknya. Kata orang sih kalau berkunjung
ke Pontianak belum sah kalau belum wisata ke Tugu Khatulistiwa. Akhirnya karena
tak ada yang mau ikut dengan nekat akupun pergi sendirian ke tugu Khatulistiwa.
Berhubung saat itu adalah hari kerja alias
bukan hari libur, jadi tempat wisata tersebut terlihat sepi saat aku kunjungi.
Di dalam museum selain dapat melihat tugu yang asli, kita juga dapat melihat
foto-foto jadul dan sejarah tugu khatulistiwa. Berwisata ke lokasi bersejarah
dan fenomenal seperti tugu khatulistiwa ini sungguh menarik. Banyak informasi
dan pengetahuan yang kudapatkan ketika berkunjung kesini. Gembira dan senang
sekali rasanya bisa kesampaian ke tugu ini.
Hanya
sedikit saran untuk pemerintah setempat agar lebih memperhatikan
kawasan wisata ini. Pemerintah harus lebih mengoptimalkan kondisi
lingkungan dan fasilitas di objek wisata Tugu Khatulistiwa.
Sepulang dari Tugu
Khatulistiwa, karena di sana tak ada Ojek Online yang beroperasi aku pun
menumpang oplet sampai ke dermaga Ferry penyebrangan. Dermaga penyeberangan
Ferry ini terletak kurang lebih 4 Km dari Tugu Khatulistiwa. Dermaga Ini adalah
jalur terdekat untuk sampai ke pusat kota Pontianak. Jika melalui jembatan agak
jauh karena harus memutar. Sedangkan melalui penyeberangan ini agak sedikit
menghemat waktu karena langsung menyeberang ke Alun Kapuas Park. Persis seperti
Ferry penyeberangan di Kabupaten Kapuas yang banyak digunakan oleh masyarakat
ketimbang harus memutar jauh melalui jembatan.
Pukul 11.30 sesampai di hotel
aku dan rekan-rekan pun langsung cek out
dan bersiap untuk berangkat ke Bandara Supadio. Untung saja aku sempat
berkunjung ke Tugu Khatulistiwa ikon utama Pontianak dan Kalbar. Karena aku
tidak tau kapan lagi aku bisa kembali ke kota ini. Mengingat sulitnya
transportasi yang efektif dan murah untuk sampai ke Provinsi ini jadi ya kalau
tidak ada urusan tak mungkin dalam waktu dekat akan kembali lagi.
Saat ini di kabupaten Katingan,
Kalimantan Tengah Kementerian PUPR sedang mengerjakan sebuah proyek jembatan
yang nantinya akan menjadi jalur alternatif penghubung Kalteng dan Kalbar. Yah
semoga saja ketika jalur ini sudah terbuka dan mulus, setidaknya dapat
memperpendek jarak antara Palangka Raya dan Pontianak dengan lama perjalanan
tak sampai 12 jam. Sehingga harapannya di masa depan warga Palangka Raya dan
Pontianak sudah biasa saling berkunjung.